Dua setengah tahun yang lalu saya pernah diundang salah satu lembaga pendidikan republik untuk bicara soal film. Temanya adalah “Citra Film Indonesia Terhadap Pendidikan.”
Ketika tema ini saya lontarkan pada seorang teman yang adalah pekerja film, komentarnya hanya satu: “Temanya Orde Baru banget.”
Saya tertawa mendengar komentar itu. Pasalnya saya juga heran ketika membaca tema tersebut.
Pada saat para pekerja film Indonesia sedang berupaya untuk membebaskan diri dari kekangan undang-undang dan peraturan perfilman republik yang ketika diundangkan pada dekade 1990an menjadikan film sebagai sarana propaganda pemerintah karena muatan film melulu dilihat dari sudut pandang pertahanan dan keamanan, sikap yang sama sekali tidak berubah tercermin dalam UU No. 33 Tahun 2009, maka ada sekelompok mahasiswa di Indonesia pada milenium berbeda mempertanyakan muatan film dikaitkan dengan pendidikan bangsa.
Seakan-akan kebobrokan, kalau memang ada dalam masyarakat, disebabkan oleh film-film nasional yang ditonton oleh masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak tontonan di layar kaca yang muatannya bernuansa mimpi dan pembodohan masyarakat. Mulai dari penokohan yang biasanya mewakili kalangan ekonomi kuat sehingga penonton bisa melihat kehidupan kalangan atas di layar kaca sesuai dengan kehidupan kalangan atas yang dikenal oleh sang sutradara… artinya televisi mengajak mata penonton masuk ke dalam rumah-rumah yang sehari-hari hanya mereka lihat dari luar pagar; sampai acara-acara yang menyalurkan mimpi menjadi kaya mendadak.
Sebelum acara-acara kuis marak di televisi, mimpi menjadi kaya mendadak bisa disalurkan dengan cara memasang lotere atau undian. Setelah segala macam bentuk lotere dilarang pemerintah karena dianggap perjudian maka saluran mimpi pemirsa televisi supaya kaya mendadak pun paling tidak diwakili oleh para peserta acara kuis di layar kaca… syukur-syukur kalau upaya mendaftarkan diri mengikuti kuis diterima sehingga bisa ikut berpartisipasi langsung dalam upaya kaya mendadak itu atau rumahnya dikunjungi oleh utusan sebuah produk tertentu yang keliling membagi-bagikan uang.
Apakah acara-acara semacam itu harus dihapuskan? Tidak. Kita tidak punya hak untuk mencegah orang untuk menentukan pilihan hidupnya dengan cara menjadi bodoh ataupun pemimpi.
Pilihan Individu
Bagi saya, kalau kita tidak mau ikut menjadi bodoh dan pemimpi, caranya sederhana saja… matikan televisi di rumah Anda! Kalau Anda tanya pada saya acara-acara televisi sepuluh tahun terakhir ini, apalagi sinetron, acara kuis atau bahkan olahraga yang berhadiah, maka saya justru akan menjadi orang yang paling bodoh. Pasalnya, sudah bertahun-tahun saya tidak pernah menonton acara televisi kecuali berkaitan dengan berita dan pemutaran film cerita. Berita pun hanya yang benar-benar sedang hangat dibicarakan saja.
Segala macam diskusi, apalagi diskusi politik pakar sok pintar, juga tidak pernah saya tonton. Bagi saya, apapun yang disuguhkan televisi bisa saya peroleh melalui bacaan. Bacaan yang saya pilih karena saya memang tertarik membacanya,
Menonton televisi pada dasarnya juga adalah sebuah pilihan. Kalaupun, katakanlah, kita memilih untuk duduk malas di depan televisi dalam menunggu waktu tidur, dewasa ini ada banyak saluran televisi. Dalam satu saluran ada berbagai acara. Tidak hanya film, sinetron, talk show, tetapi juga ada acara musik, petualangan dan entah apa lagi. Masa’ sih dari sekian banyak acara yang tampil bersamaan di layar kaca tidak ada acara yang kita anggap bermutu bagi kita ataupun anggota keluarga kita?
Kalau pilihan mereka tidak sama dengan pilihan Anda, nah… Anda dihadapkan pada pilihan menerapkan prinsip demokrasi dalam keluarga atau tidak. Pada saat itulah Anda harus mengajarkan anggota keluarga Anda untuk belajar memilih yang menurut mereka adalah yang terbaik. Bahwa ada anggota keluarga yang kemudian protes karena ingin menghibur diri dengan menonton acara televisi adalah urusan lain lagi. Anda harus siap menerima kenyataan bahwa perbedaan pilihan itu adalah bagian dari keterbukaan berpikir dalam keluarga Anda.
Kalau dikembalikan ke tema yang berkaitan dengan pendidikan maka saya rasa semua kembali ke pendidikan di dalam keluarga masing-masing. Pendidikan sekolah hanya beberapa jam dalam sehari, Sisanya murid atau mahasiswa akan kembali ke rumah atau tempat kos masing-masing. Apakah sisa waktu itu mau dihabiskan dengan cara duduk manis dan menelan mentah-mentah semua suguhan yang muncul di layar kaca?
Kalau tidak bisa mendisiplinkan diri sendiri atau bila sebagai orangtua tidak bisa mendisiplinkan anak dalam memilih yang terbaik baginya, janganlah menyalahkan acara-acara televisi ataupun film yang sedang beredar, baik di bioskop maupun dalam bentuk VCD/DVD/Blue Ray (BD).
Berkaitan dengan film, apakah kita menganggap bahwa tidak ada kesadaran dari mereka yang mengeluarkan uang untuk membeli karcis bioskop, membeli cakram VCD, DVD ataupun BD bahwa dengan uang tersebut mereka bisa memilih jenis film yang sesuai dengan keinginan mereka? Kalau dianggap tidak mendidik, ya, jangan dibeli. Kok susah?
Kalau tidak mau anak kita melihat orang ciuman ya… jangan ijinkan menonton film yang bertemakan cinta remaja. Kalau tidak mau adik kita bermimpi naik mobil kebut-kebutan terus seenaknya menabrak rangkaian pedagang kakilima ya… jangan biarkan dia nonton VCD/DVD/BD film action. Kalau kita tidak mau seseorang tidak ketakutan di malam hari ya… jangan belikan karcis untuk nonton film horor.
Lagi-lagi kembali ke disiplin dalam memilih yang dimiliki oleh masing-masing individu. Kedisiplinan yang seharusnya sudah ditanamkan sejak usia dini. Jangan filmnya yang disalahkan. Jangan para pekerja film yang dibebankan tanggungjawab untuk mendidik insan penonton film mereka.
Keterbatasan Tema
Saat ini, dengan segala kekangan tertulis maupun tak tertulis yang diterapkan pemerintah terhadap pembuatan sebuah film, para kreator praktis tidak bisa berkreasi secara utuh dalam membuat film dari sudut pandang film sebagai bagian dari ekspresi sosial, ekonomi, politik, seni dan budaya dari para kreator tersebut. Kalau ditambah beban harus juga memasukkan pesan-pesan bernuansa pendidikan, wah, betapa membosankannya jalan cerita film-film nasional nantinya. Jangan kita lupakan bahwa mereka yang mau mengeluarkan uang untuk menonton ke bioskop ataupun membeli VCD/DVD/BD biasanya adalah mereka yang pergi menonton bukan untuk mencari pendidikan tambahan. Mereka mencari hiburan.
Saya ambil contoh film-film bertemakan horror yang banyak beredar saat ini. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak film horor nasional dibuat sekadarnya, ada yang terkesan asal jadi, ceritanya tidak masuk akal dan sebagainya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa untuk saat ini tema itulah yang paling banyak ditonton oleh masyarakat.
Menurut pendapat saya, hal itu berkaitan dengan kondisi psikologi masyarakat kita. Dalam keseharian, kebanyakan masyarakat kita bisa dibilang sudah tidak takut terhadap aturan-aturan yang lazimnya ada dalam tata kehidupan bernegara seperti pencurian, korupsi, manipulasi dan lain sebagainya. Sebagai manusia normal, naluri kemanusiaan mereka membutuhkan sesuatu yang mereka takuti.
Nah, karena terhadap orangtua tidak takut, aparat pemerintahan tidak ditakuti, aparat hukum tidak perlu ditakutii karena mereka melihat sosok-sosok yang seharusnya disegani dan bukan ditakuti itu ternyata hidup bergelimang cacat-cela, maka mereka pun mencari sosok yang yang bisa membangkitkan rasa takut: hantu dan kengerian yang ditimbulkannya!
Wajarlah bila film-film horor laku keras di bioskop. Tapi, jangan salah, banyak juga anggota masyarakat yang tidak mau mengeluarkan uang untuk film-film yang bertemakan horor. Kebutuhan akan ketakutan itu sudah terpenuhi oleh film-film horor ataupun mistik yang tampil di televisi.
Bahwa kenyataan ada yang tidak normal dalam masyarakat Indonesia, janganlah film yang dituding sebagai sumber pengacau pendidikan warganegara.
Memangnya ada pekerja film yang boleh mengangkat kebiadaban yang terjadi dalam sejarah politik, sosial maupun ekonomi Indonesia untuk difilmkan? Mengungkap sejarah politik pada tahun 1965, 1978 ataupun tragedi rasial yang terjadi pada tahun 1998? Bukankah itu bagian dari pendidikan sejarah bangsa? Kalaupun ada, pasti dibuat sehalus mungkin.
Ada banyak pekerja film yang ingin mengangkat tema-tema tersebut namun terbentur pada berbagai peraturan karena karya film masih tetap dilihat pemerintah dan berbagai aparatnya dari sudut pandang kepentingan penguasa, bukan sebagai sebuah karya.
Hambatan-hambatan bagi pekerja film dalam mengembangkan ide cerita yang masih terus diterapkan pemerintah sampai saat ini membuat pekerja film kebingungan. Tak heran tema yang paling aman yaitu percintaan remaja dan horor menjadi pilihan banyak pembuat film sejak rezim Orde Baru berkuasa hingga saat ini.
Contoh lain misalnya “dongeng” tentang korupsi. Jangankan kita menyinggung tentang kekayaan keluarga Cendana, yang lain lah, apakah ada film yang boleh bercerita tentang korupsi di masa Orde Lama misalnya? Kapan kasus korupsi Bulog bisa dijadikan cerita film? Kapan money politic yang terjadi dalam aneka pemilihan bisa dijadikan tema sebuah film cerita?
Meskipun para penulis skenario bisa menulis puluhan skenario fiktif tentang korupsi, saya tekankan sekali lagi… fiktif, namun sampai saat ini praktis tidak ada film yang bertemakan korupsi atau pejabat pemerintah yang korup. Alasannya sederhana sekali. Apapun yang ditulis tentang korupsi, berkaitan dengan jenjang jabatan manapun, pasti ada yang tersinggung. Nah, jelas tidak ada film tentang korupsi, tapi pada kenyataannya korupsi sudah lama sekali merupakan hal yang lumrah. Apakah korupsi terjadi karena film tidak mendidik penontonnya untuk anti korupsi? Kenapa film yang dijadikan kambing hitam?
Kalau kita mau jujur, kebiasaan mencari kambing hitam tanpa mau introspeksi ke diri sendiri tanpa kita sadari adalah pendidikan yang sudah ditanamkan pada diri kita semua sejak masih kecil. Siapakah yang paling sering kita jadikan kambing hitam?
Percaya atau tidak, maaf sebelumnya, adalah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Esa lah yang paling sering kita jadikan kambing hitam. Sedikit kegagalan dalam hidup, maka kegagalan itu dianggap cobaan atau belum diperkenankan oleh Yang Maha Kuasa. Jarang dilihat sebagai kesalahan rencana, kemalasan atau ketololan diri sendiri.
Anggap Cobaan
Bahwa sudah cukup lama film dituding memegang andil atas kebobrokan dalam masyarakat, memberi contoh yang tidak sesuai dengan moral (harapan) bangsa, terutama yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, saya melihatnya sebagai film dijadikan kambing hitam atas kegagalan para guru di sekolah, para orangtua di rumah maupun pemuka agama di lingkungan kelompok ibadah sesuai dengan agama yang dianut anggota masyarakat masing-masing.
Kalau boleh saya menghimbau, sambil kami para pekerja film mencoba memperjuangkan kebebasan kami dalam mengekspresikan karya dengan seluas-luasnya dan utuh, dan bila terjadi saya yakin tema film nasional akan semakin banyak seperti kita lihat pada dunia penulisan dan musik sejak era reformasi dimulai, maka anggaplah film-film yang ada saat ini sebagai bagian dari cobaan Yang Maha Kuasa… cobaan yang terjadi karena ulah para pembuat dan “penjaga” undang-undang maupun peraturan berkaitan dengan produksi film.
Hidup miskin atau pendidikan terlantar bisa dianggap sebagai cobaan hidup, padahal disebabkan oleh pemerintah yang sampai sekarang tidak membuktikan itikad baik untuk memperbaiki perekonomian dan sarana pendidikan bagi rakyatnya. Para pejabatnya asyik mementingkan diri sendiri, kelompok ataupun partai.
Kemiskinan tema film juga disebabkan oleh ketidakinginan pemerintah dalam membina dunia perfilman sebagai dunia karya dan tetap bertahan untuk melihatnya dari sudut kepentingan penguasa.
Sama kan?
Jadi, pertama, tingkatkan kesadaran Anda dalam memilih film yang akan ditonton. Kalau film yang ditonton ternyata tidak memuaskan dan dikhawatirkan bisa berdampak negatif terhadap pendidikan, maaf, balita yang Anda ajak nonton, ya… anggap saja sebagai cobaan tambahan, persiapan bagi putra-putri Anda dalam menghadapi kekerasan hidup nantinya.
Gampang kan!
Catatan:
Pada hari yang sama juga ditampilkan dalam Notes di akun facebook Tino Saroengallo.