Dongengfilm's Blog

Mei 1, 2010

Jangan jadi cengeng karena film “Cowboys in Paradise”

Filed under: Tentang Film — dongengfilm @ 4:16 pm

Saya rasa content film “Cowboys in Paradise” bukan alasan isu kontroversi yang muncul setelah film ini menang di salah satu festival internasional. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa seringkali terjadi hubungan khusus antara anak pantai dan para turis, sesama ataupun berlainan jenis kelamin. Tidak hanya dengan anak pantai sebetulnya, dengan warga lokal mungkin lebih tepat.

Gejala yang adalah kenyataan ini berkaitan dengan adanya demand dari para wisatawan yang kebetulan ‘kesepian’ dan ada sosok saat ia kesepian yang menemaninya mengatasi kesepian. Hal lumrah di sebuah tempat liburan di manapun di dunia, Bali tidak terkecuali.

Namun, yang jadi permasalahan adalah prosedural perijinan produksinya. Mengingat pembuat film adalah orang asing, seharusnya ia menyatakan dengan jujur bahwa ia sedang membuat film dokumenter. Baik terhadap pemerintah saat urus visa, apalagi terhadap respondennya.

Kenapa sebagai pembuat film dokumenter ‘indie‘ dia jadi dan tetap salah?

Karena kebetulan di negara Indonesia adalah aturan yang mengharuskan pembuat film asing mengungkapkan niatnya membuat film kalau datang ke Indonesia. Kalau tidak ada aturannya, tentunya tidak akan seribut ini.

Kita pun kalau keluar negeri dan ketahuan sedang buat film seringkali terbentur hambatan. Apalagi kalau bicara Singapura dengan segala peraturannya yang sangat terkenal itu. Coba lah buat film tentang kehidupan politik Negara Singa tersebut? Belum tentu kita boleh masuk kalau kita mengatakan dengan jujur niat kita itu saat mengurus visa.

Seandainya film ini tidak menang di festival, pasti tidak menjadi isu. Kebetulan saja menang.

Sebaliknya, pembuat film tidak perlu bersembunyi di balik istilah ‘film indie’ sebagai pembenaran tidak perlu minta ijin kepada pemerintah Indonesia. Apalagi kalau sudah bicara soal ijin dari subyek yang tampil dalam film itu. Ini kaitannya dengan tanggungjawab moral si pembuat film.

Setahu saya, dalam setiap film, apapun itu, kalau sampai ditayangkan, seharusnya ada kesadaran bahwa mereka yang tampil seharusnya sadar bahwa film dan dirinya dalam film itu akan disebar-luaskan. Kalau di stasiun televisi Barat, khususnya di Amerika Serikat, film ini jelas tidak bisa ditayangkan. Pembuat film harus bisa menunjukkan release form dari mereka yang tampil dalam filmnya itu.

Kalau sampai film “Cowboys in Paradise” bisa tampil dalam stasiun televisi Amerika, padahal sudah ada kontroversi ini, yang patut kita tuding adalah stasiun televisinya.

Kenyataan bahwa film ini kemudian “dinistakan” oleh pemerintah Bali/Indonesia, maka pembuat film harus melihat itu sebagai resiko. Termasuk kalau satu saat ia menjadi persona non grata atau harus berhadapan dengan hukum Indonesia.

Dia juga harusnya sadar bahwa keputusannya menampilkan wajah-wajah orang lain dalam filmnya itu bisa mengakibatkan pribadi-pribadi itu berurusan dengan hukum. Jangan sok mengeluarkan pernyataan “menyayangkan” ketika mendengar subyek-subyeknya harus berurusan dengan polisi di Bali. Salah satu kewajiban pembuat film dokumenter adalah sama seperti dalam pengangkatan subyek dalam berita yaitu berkewajiban melindungi sumber berita yang diwawancara. Apalagi kalau sadar bahwa sedang membuat karya yang bisa menimbulkan kontroversi.

Di lain pihak, film ini sendiri tidak harus membuat pembuat film dokumenter (yang kebetulan masih bersatus) “indie” berkecil hati. Tidak populer atau dimusuhi oleh penguasa ataupun masyarakat penonton film merupakan bagian dari resiko membuat film yang tidak populer.

Jadi, jangan ikut-ikutan jadi cengeng dengan membela pembuat film “Cowboys in Paradise” ini. Yang menistakan content film ini juga masuk dalam kategori cengeng yang sok nasionalis, moralis, agamis dan entah embel-embel taik kucing lain.

Munafik aja pada-pada. Biasa-biasa aja deh.

Catatan:

Pada hari yang sama tulisan ini juga dimuat sebagai Notes dalam akun facebook Tino Saroengallo.

April 17, 2010

Bertemu dengan sosok asli dari tokoh utama film “Good Morning, Vietnam”

Filed under: Tentang Film — dongengfilm @ 5:15 am

Minggu lalu saya berkenalan dengan seorang produser/sutradara dokumenter asal Los Angeles, Amerika Serikat (AS). Namanya Benjamin Moses, biasa dipanggil Ben. Penampilannya selalu rapih, tenang, tidak gampang panik bila ada perubahan di lapangan.

Kedatangannya di Jakarta adalah sebagai sutradara pembuatan sebuah film dokumenter tentang demokrasi di dunia. Ia dan krunya menghadiri konferensi “World Movement for Democracy” di hotel Shangri-La tanggal 11 – 14 April lalu.

Ben Moses di studio rekaan, hotel Shangri-La Jakarta, bersama sinematografer Harris Done

Ben Moses dan Harris Done sang sinematografer

Obrol punya obrol akhirnya saya tahu bahwa dia adalah salah seorang produser film “Good morning, Vietnam” yang disutradari oleh Barry Levinson dan beredar pada tahun 1987. Film itu bahkan bercerita tentang pengalamannya ketika bertugas dalam Perang Vietnam.

Dia pun bercerita tentang asal-usul film tersebut. Dia bertugas ke Vietnam sebagai pejabat intelejen. Suatu hari, dia menyetel radio dan terdengarlah suara penyiar, “Good morning, Vietnam.”

“Suara itu sangat sumbang,” cerita Ben Moses. “Saya simak keseluruhan siaran itu, jelek sekali.”

Sebagai orang yang berlatar-belakang bidang siaran radio amatir di kampung halamannya di Illinois, sebelum bertugas di Vietnam, dia pun penasaran.

Dia mengirim surat ke stasiun radio tersebut dan berkenalan dengan pemimpin radio itu, Adrian Cronauer. Awalnya Cronauer bersikap defensif karena mengira Ben ingin mengambil-alih posisinya. Tetapi, sekali diyakinkan, Cronauer kemudian malah merekrut Moses menjadi anggota timnya dan Moses meninggalkan tugasnya di bagian intelejen. Mereka menjadi sahabat sampai setelah selesai bertugas di Vietnam. Mereka juga sering bertemu ketika sudah kembali ke Amerika Serikat.

Ketika film “Apocalypse Now” (Francis Ford Coppola, 1979) dirilis di AS, mereka gelisah.

“Itu bukan pengalaman hidup kita selama di Vietnam,” ujar mereka satu sama lain.

“Maklumlah, selama bertugas di Vietnam saya selalu tinggal di hotel berbintang lima,” jelas Moses saat obrol dengan saya.

Itulah titik kelahiran cerita film “Good morning, Vietnam”. Mereka pun mulai mengembangkan cerita mereka sendiri. Mereka menuliskan pengalaman mereka masing-masing, Ben mengembangkan alur cerita awal. Setelah ada perusahaan film yang tertarik menfilmkan cerita tersebut, Adrian hanya bersedia bila nama aslinya masuk ke dalam film tersebut meskipun saat itu dia tidak bertugas sebagai penyiar tetapi kepala stasiun radio.

Mitch Markowitz ditugaskan untuk menuliskan skenario berdasarkan cerita yang ditulis oleh Ben Moses. Lahirnya tokoh “Adrian Cronauer” yang dalam film mengalami banyak kejadian dan kejadian-kejadian tersebut merupakan gabungan pengalaman sosok Ben Moses, Adrian Cronauer (yang asli) selama bertugas di Vietnam dan tambahan kejadian karangan dari Markowitz.

“Adegan jip meledak merupakan peristiwa yang dialami Adrian,” cerita Moses. “Kalau adegan si penyiar berjalan sambil merangkul cewek-cewek Vietnam merupakan pengalaman saya.”

Tokoh “Adrian Cronauer” kemudian diperankan oleh aktor komedi Robin Williams. Ia berhasil medapatkan penghargaan Aktor Terbaik dalam ajang festival Golden Globe pada tahun 1988 dan masuk nominasi untuk aktor terbaik dalam ajang Academy Awards (Oscar) pada tahun 1988. Film “Good morning, Vietnam” sendiri mendapatkan penghargaan Top Box Office Films dalam ajang ASCAP Award pada tahun 1989.

Kebetulan sudah dua bulan ini saya berkutat membaca buku biografi Sean Penn yang banyak menceritakan proses kreatif karya-karya mantan suami Madonna itu. Baik Penn sebagai aktor maupun sebagai sutradara. Seru juga bisa bertemu dengan sosok asli tokoh Adrian Cronauer yang diperankan oleh Robin Williams itu dan mendengarkan proses kreatif lahirnya film tersebut… langsung dari sosok aslinya… di Jakarta pula!

Catatan:
Tulisan ini juga dimuat pada hari yang sama di akun facebook Tino Saroengallo.

Februari 16, 2010

GENERALPRODUCTION NOTES FOR FILMING IN INDONESIA

Filed under: Tentang Film — dongengfilm @ 8:54 am

Permit:

Filming permit in Indonesia is given by Film Directorate, Department of Culture & Tourism.

If a foreign film company wants to come to Indonesia to shoot under its own company name, the permit should be arranged thru the Indonesian Embassy.

As per now, they only know journalist visa for production under foreign company name, coming to Indonesia and spend money in Indonesia. Before there is a visa called SOCIAL CULTURE VISA but I heard this visa doesn’t exist anymore. Please double check with the embassy. When “Victory” was shot in mid 1990’s, Periscope film arrived with that visa.

For foreign workers who are employed by an Indonesian production house i.e. TVC director or DOP, they normally come with a visa called VITAS (= temporary working visa) but this is for people who are employed by Indonesian company.

I’m still checking with the Department of Culture & Tourism. I’ve stressed the different between foreigners employed by Indonesian company and foreign film company coming in to spend money in Indonesia, employing Indonesian and giving business to many sources. It’s been more than two month since I’ve submitted the letter of inquiry but they haven’t got the right answer. The officials are still waiting for the answer from Immigration Office.

My suggestion is to arrange a filming visa to the Embassy, submit all the application forms, synopsis, projected schedule and crew list. They WILL ask for a complete script. Make sure we put notes on scenes that are planned to be shot in Bali/Indonesia. The sooner the better, so we can see what sort of reaction will be the feed back from Jakarta. I will follow up the process in Jakarta. At the early stage, we don’t need to submit the whole crew list… just the key person i.e. producer and director.

This process might take about 2 weeks – 2 months time. Depends on the discussion development in Jakarta which I will represent the company. There will be a possibility for the producer and director to be invited to present the idea to the whole member of what’s called The Clearance House.

Once we got the permit, consider as the state permit, we will proceed with the provincial permit (Bali province). At this stage, we definitely have to submit the translated scenario.

While we’re dealing with the provincial permit arrangement, we can also start submitting visa application with the attachment of the production permit issued by Department of Culture & Tourism in Jakarta.

Please note that working visa is different than business visa. For meetings, you can come with business visa, or even on arrival visa. But for working, physically working, you have to have a working visa.

Another possibility is to ask a professional visa agent in the origin country of applicants to deal with it.

Make sure to double check not only visit duration (normally the visa is valid for 3 months after the issue date, and can be used for 2 months after arrival) but also the entry allowance. I know that multiple entries are given to expatriates working and living in Indonesia. But I’m not sure with VITAS or SOCIAL & CULTURE VISA.

People who come with working visa will have to report to the immigration office to get their working ID card. Photograph will be taken; finger prints then get the ID card. Make sure this issue to be informed clearly to all crew and cast.

Equipment:

All professional film equipment will come from Jakarta. Except for camera, other equipments are normally driven by land from Jakarta, across Java, to Bali. It will take 3 days to get to Bali.

We have two big rental companies: Elang Perkasa Film and Cinerent Film. On top of those two companies we also have smaller ones like R.S.V.P., Rental House, Silverscreen etc. All deal with celluloid cameras. More rental houses deal with video i.e. DB, HDV or red cam.

If we’re talking ARRIFLEX, different types of camera exist in Jakarta. Maybe not the latest ones, but we do have ARRICAM or ARRI 535 for sound shoot for examples. But we are not PANAVISION country.

The biggest lights that we have are HMI 18 KVAs. We have plenty of crystal lock generators… up to 185 KVA.

As for crane, we have Galaxy Crane (Panther version of GFM 16), PICOLO crane, GFM 8 crane for ARRI 535 or go to Jimmy Jib for no sound proof scenes because it can only deal with ARRI 435.

Specific equipment can be check to Singapore or Kuala Lumpur.

If we bring equipments in, we have to allow 10 days custom clearance process before we get it out. We have to put money for temporary bond for temporary import equipments. They will charge additional 16% from the total bond for tax. We will get the bond amount back but not the 16% tax.

Film Stock:

Kodak has an office in Jakarta and always has 400 feet can in stock, also 1.000 feet stock (by orders). We have to make a special order for 1.000 feet stock but it is still easier to order it to Kodak Indonesia than to order it to Kodak London. We don’t have to deal with customs.

1.000 feet magazine has to be ordered specially to the rental company.

Crew:

Key crew i.e. production designer, special make up artist, costume designer, 1st AD etc are better come as part of the foreign crew especially considering the working comfort for the director and DP.

Special Effects & VSF Coordinator is better if they are part of foreign crew.

We do have stunts dealing with car accident, burning bodies, driving etc. But to bring a stunt coordinator will make the work easier.

As for art department, because of normally limited production budget, the normal approach we do in Indonesia is more to set dressing and build additional stuff to the existing location. Unless it’s a special case, we don’t really build things/set from scratch.

Transportation & Base Unit:

Generally, roads in Indonesia will be considered as too small for film trucks. We can’t travel with big trucks/vehicles unless we’re only shooting on freeways. Equipment will be carried by what we called box trucks. People/crew will be driven by small busses or vans.

As for green area, we might have to deal with existing buildings/houses or set up air conditioned tent for make up room, wardrobe room or even talent sitting room. Not super-super big, but quite comfortable for the talents. We have only 3 caravans in Jakarta that are normally used for talents. Mobile toilets exist but we normally check also the area. If there is a hotel, we might make a deal with them so we can use their toilet facilities.

Accommodation:

There are plenty of hotels in provincial capitals or tourist center i.e. Bali, Yogya etc.. Hotels can be decided after we pin down the locations.

Catering:

We can have a craft & service unit standing by during the shoot and catering service for meal time.

Catatan:
Ini adalah petunjuk dasar bagi peroduksi asing yang ingin syuting di Indonesia.

Tahap-tahap Pembuatan Sebuah Film

Filed under: Tentang Film — dongengfilm @ 3:11 am

Pengembangan (Development Stage)
1. Ide Cerita:
Pemilik ide cerita dan produser (+ mungkin sutradara)
2. Pengembangan Ide Cerita:
Riset cerita dan lokasi (produser, + mungkin sutradara, dan tim riset)
3. Penulisan Skenario:
a. Tidak harus yang empunya ide cerita
b. Mulainya penerapan tri-angle system (produser, sutradara & penulis skenario)

Pra-produksi Awal (Initial Pre-production)
1. Pembuatan Jadwal dan Prakiraan Anggaran:
Oleh produser atau manajer produksi (kalau sudah dilibatkan)
2. Pencarian Investor:
Oleh produser (kadang juga melibatkan sutradara)
3. Penetapan kru kunci:
Mulai melibatkan kru kunci seperti manajer produksi, DOP dan desainer produksi
4. Riset lapangan:
Pencarian lokasi, kemungkinan pemain inti
5. Penetapan draft terakhir/kerja skenario
6. Pembuatan Anggaran Produksi:
Berdasarkan draft skenario akhir, penetapan format yang dipakai, kru dan pemain inti
7. Kepastian investor
8. Pencarian dan pembuatan kontrak dengan semua kru dan pemain inti.

Pra-produksi (Pre-production)
1. Penjelasan kepada semua kepala departemen
Semua kru inti dan masing-masing kru pendukungnya sudah dikontrak
2. Pembuatan anggaran oleh masing-masing departemen
3. Pengurusan ijin syuting:
Pemerintah (departemen terkait), lokasi (pemilik dan penguasa)
4. Persiapan masing-masing departemen:
a. Pembuatan breakdown masing-masing departemen [penyutradaraan, kamera, suara maupun artistik (set, properti, kostum, tata rias, rambut ataupun efek khusus)]
b. Pembelian maupun pemesanan segala keperluan seperti peralatan, kebutuhan artistik (set, properti, kostum, tata rias, rambut ataupun efek khusus)
5. Pencarian dan penetapan seluruh pemain:
Casting, latihan dialog maupun pengadeganan dll.
6. Pemesanan transportasi, akomodasi dan segala kebutuhan logistik produksi

Pelaksanaan Produksi (Shooting)
1. Syuting

Pasca produksi:
1. Proses kerja yang bisa dicicil pada saat syuting berlangsung
a. Pengiriman materi ke laboratorium (kalau pakai film)
b. Transfer film negatif ke video (one-lite telecine)
c. Evaluasi hasil syuting harian dari hasil TC
d. Mencicil penggabungan gambar dan suara
e. Digitalisasi gambar yang sudah bersuara ke mesin edit
2. Proses kerja yang dimulai setelah syuting selesai
a. Penyuntingan gambar
a.1. Off-line edit
a.2. Picture locked
a.3. On-line edit:
a.3.1. Negative cutting
a.3.2. Optical effect (sekarang umumnya digital effect)
a.3.3. Koreksi warna (color correction)
– untuk yang dilakukan di mesin telecine disebut full-grade TC
b. Penyuntingan suara
a.1. Pembersihan suara
a.2. Pembuatan folley (suara-suara yang diperlukan untuk membangun atmosfir)
a.3. Dubbing (perekaman ulang percakapan yang dinilai kurang bersih)
a.4. Pembuatan musik dan sound effect
a.5. Mixing
c. Penggabungan gambar dan suara
d. Pembuatan materi promosi (trailer)
e. Pembuatan print negative (Copy A)
f. Pembuatan print positive (Copy B)
g. Perbanyakan copy positive
Tergantung dari strategi peredaran yang disepakati

Promosi dan Peredaran:
1. Promosi bisa dilakukan bahkan sebelum film dimulai sebagai bagian dari upaya pencarian investor, termasuk perjualan ke stasiun televisi
2. Promosi setelah film selesai:
Biasanya penyelenggaraan event, road show atau pertunjukan perdana yang melibatkan para pemain inti
Promosi lewat media cetak, radio maupun televisi
3. Tayang di bioskop
4. Penjualan VCD dan DVD
Untuk di Indonesia paling cepat 3 (tiga) bulan setelah turun dari bioskop
5. Tayang di stasiun televisi

Catatan:
Tulisan ini pernah dipakai untuk materi mengajar di Universitas Atmajaya.

Februari 12, 2010

Production Service film asing ke Indonesia

Filed under: Tentang Film — dongengfilm @ 5:06 am

Setelah Filipina dan Thailand yang pernah diserbu oleh produksi film Hollywood berkaitan dengan pembuatan film-film tentang Perang Vietnam di tahun 1970 – 1980an, para produser internasional sempat beralih ke Malaysia pada tahun 1990an. Pembuatan film “Anne and The King” menjadi tolok ukur produksi film Hollywood di Malaysia.

Pada saat itu jalur masuk ke Indonesia masih sangat terbatas. Sikap curiga terhadap segala sesuatu yang berbau audio-visual dari negara asing oleh pemerintah Orde Baru berdampak pada kesulitan perijinan bagi para pembuat film internasional yang ingin menggunakan wilayah nusantara sebagai lokasi syuting mereka. Apalagi kalau cerita filmnya itu sendiri tidak ada hubungannya dengan Indonesia.

Pada pertengahan dekade 1990-an, film berskala Hollywood yang pernah diproduksi di Indonesia adalah “Victory”. Film yang disutradarai oleh Mark Peploe dan dibintangi oleh Irene Jacob, Rufus Sewell, Sam Neill dan Willem Dafoe ini mengambil lokasi syuting di Panarukan dan Besuki, Jawa Timur, selain di Tioman Island (Malaysia) dan studio di Jerman. Film ini merupakan produksi kerjasama tiga negara: Inggris, Perancis dan Jerman.

Kalau film asing tapi tidak berskala Hollywood pernah juga diproduksi pada awal 1990an, berjudul “Oeroeg”. Film Belanda yang disutradarai oleh Hans Hylkema ini beredar tahun 1993. Bintang Indonesia yang terlibat dalam film ini adalah Ayu Azhari.

Selain “Victory”, sebuah film laga kelas B juga pernah syuting di Indonesia… “Last To Surrender” yang dibintangi oleh Roddy Piper dan Han Su Ong. Film produksi perusahaan film dari Canada ini mengambil lokasi di Jakarta, Sukabumi dan Pelabuhan Ratu. Disutradarai oleh David Mitchell.

Bersamaan dengan produksi “Last To Surrender”, sebuah film produksi dari Belanda juga syuting di wilayah Sukabumi, berjudul “Tropic of Emerald” yang melibatkan bintang nasional kita seperti Christine Hakim dan Frans Tumbuan. Film ini beredar tahun 1998. Pada kurun waktu nyaris bersamaan, sebagian adegan dalam film “In God’s Hand” yang disutradari oleh Zalman King diproduksi di Bali. Film ini juga beredar tahun 1998.

Setelah keempat film tersebut di atas, praktis tidak ada lagi film asing yang datang produksi di Indonesia.

Setelah Reformasi 1998, kita mendengar adanya produksi film dari Jepang berjudul “Merdeka” yang mengambil lokasi di Semarang, Ambarawa dan sekitarnya. Film yang disutradarai oleh Yukio Fuji dan melibatkan aktris Indonesia Lola Amaria ini beredar pada tahun 2001.

Selain itu juga film “The Fall” yang disutradarai oleh Tarsem Singh, mengambil lokasi di Bali pada tahun 2004, dan khusus untuk tarian kecak menampilkan Ketut Rina dan puluhan warga desa Teges, Ubud. Ketut Rina, anak didik Sardowo W. Kusumo, memang sudah diakui sebagai penari internasional dan sering tampil di berbagai ajang festival tari di mancanegara.

Tahun 2009 mendatang sudah ada beberapa film internasional independen, skala sedang maupun skala studio yang berminat syuting di Indonesia. Mayoritas masih karena alasan sebagian ceritanya berkisah di Indonesia.

Dilihat dari kepentingan nasional, kedatangan produksi film cerita asing ke Indonesia tidak hanya akan membantu percepatan peningkatan profesionalisme pekerja film nasional, tetapi juga mereka datang sebagai pembawa devisa yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat dimana film tersebut diproduksi (akomodasi, konsumsi, sewa kendaraan dan lain-lain) serta para pekerja film nasional yang dilibatkan dalam produksi tersebut).

Dari beberapa film yang menunjukkan minatnya itu, baru satu judul yang selesai diproduksi, Eat Pray Love. Film yang disutradarai oleh Ryan Murphy ini merupakan film studio pertama yang diproduksi di Indonesia. Dilihat dari ukuran film cerita dunia, inilah yang disebut film Hollywood. Melibatkan sekitar 90 orang kru asing, 150 kru Indonesia ditambah sekitar 200 kru pendukung. Pemain yang ikut syuting di Indonesia adalah Julia Roberts dan Javier Bardem. Aktris kondang nasional Christine Hakim juga terlibat sebagai aktris pendukung.

Saat ini pekerja film nasional kebanyakan berkarier dan mengasah kemampuan profesionalisme mereka di Jakarta. Akibatnya industri perfilman tetap terpusat di Jakarta. Bila ada kru asing yang syuting di Bali misalnya, meskipun pada awalnya mayoritas akan melibatkan pekerja film dari Jakarta, namun mereka pasti juga mendidik tenaga pekerja yang berasal dari Bali sendiri. Seleksi alam akan melahirkan kru film profesional dari wilayah tersebut.

Sampai saat ini, kendala utama bagi produksi asing adalah visa. Ijin produksi dikeluarkan bila perusahaan asing tersebut mengambil mitra kerja perusahaan film di Indonesia. Tetapi visa kerja masih tetap menjadi masalah. Saat ini VITAS hanya memberikan KITAS yang sifatnya single entry visa dan harganya cukup mahal (Rp. 6.000.000,00 ditambah pajak USD 100 per bulan… per orang).

Meski semahal itu, tetap saja sangat merepotkan bagi para pekerja film asing karena sifatnya yang single entry. Dalam industri film, perjalanan keluar masuk ke mancanegara adalah hal lumrah. Apalagi tingkatan produser dan sutradara. Bisa saja tiba-tiba dia harus meeting ke negara lain, dan sehari kemudian kembali ke Indonesia untuk melanjutkan persiapan atau syuting. Kemudahan transportasi dewasa ini memungkinkan kecepatan manusia bergerak dari satu wilayah ke tempat lain di muka bumi.

Lebih merepotkan lagi adalah kenyataan bahwa proses pengurusan visa kerja berkisar 3-4 minggu. Kenapa karena keperluan penting selama satu dua hari akan mengakibatkan dia harus menanti 3-4 minggu supaya bisa melanjutkan persiapan atau produksi filmnya?

Kalau saja visa kerja yang dikeluarkan sifatnya multi entry, kerepotan di atas tidak perlu terjadi dan mereka tetap bisa bekerja legal dalam pekerjaan yang mendatangkan devisa bagi negara kita.

Bahwa para pemegang KITAS juga harus merasakan diri sebagai lumrahnya warga jajahan seperti halnya warganegara Indonesia… harus membayar pajak fiskal kalau bepergian ke luar negeri… ya lumrah saja. Wong warganegara sendiri saja masih diperlakukan sebagai warga jajahan oleh pemerintahnya sendiri untuk memenuhi crash program penanggukan pajak tanpa upaya, masakan mereka diistimewakan?

(Saat ini bagi warganegara pemilik NPWP, tidak ada lagi kewajiban membayar pajak fiskal. Kenyataan bahwa dulu sangat sulit untuk memperhitungkan kembali pajak fiskal dengan perhitungan pajak tahunan membuat wajib pajak resah. Setelah lebih dari 60 tahun menikmati pemasukan pajak kontan cepat dari rakyat, pemerintah akhirnya membebaskan pemilik NPWP dari kewajiban membayar pajak fiskal.)

Dilihat dari kesiapan wilayah dalam menerima produksi asing, Indonesia memiliki beberapa wilayah yang sudah memiliki cukup fasilitas untuk menjadi tuan rumah produksi berskala Hollywood. Wilayah yang sudah siap adalah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali dan Lombok.

Faktor pertama adalah fasilitas penginapan, komunikasi dan transportasi. Faktor kedua adalah jalan penghubung dari Jakarta ke wilayah-wilayah tersebut. Faktor kedua ini disebabkan karena peralatan film profesional yang memenuhi standard internasional masih terpusat di Jakarta.

Pada prinsipnya para produser internasional ini tidak minta banyak dalam melakukan produksi di sebuah negara asing: kepastian rambu-rambu dan keleluasaan kerja bila mereka mematuhi rambu-rambu tersebut.

Artinya, bila sudah keluar surat ijin produksi dari DepBudPar, seharusnya surat tersebut diakui oleh pemerintah daerah maupun aparat keamanan pusat dan setempat. Mereka cukup melaporkan kedatangan mereka dan membangun kerjasama yang baik. Bukan harus meminta ijin ke setiap wilayah, sipil maupun non-sipil, dan seterusnya sehingga jangankan sebelum syuting dimulai, selama syuting berjalan masih terbuka kemungkinan adanya pelarangan yang dikeluarkan oleh entah siapa, bahkan lembaga atau organisasi non-pemerintah seperti MUI, Bapfida ataupun FPI (ekstrimnya).

Bila ijin dikeluarkan, pemerintah harus mencegah terulangnya penghentian produksi seperti terjadi pada film The Bali Project yang disutradarai oleh Michael Jenkins. Film produksi Australia ini dihentikan oleh pemda Bali dengan alasan masyarakat Bali belum sembuh dari trauma bom Bali 2002. Film ini memang bercerita tentang latar belakang tragedi tersebut.

Harus ada jenjang organisasi pemerintahan yang jelas, berwibawa dan produk-produknya diakui dan dipatuhi oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun sipil di bawahnya.

Aparat keamanan harusnya bertindak mengamankan ijin yang sudah dikeluarkan oleh lembaga yang berwewenang… dalam hal produksi film adalah DepBudPar.

Film tak sesuai harapan = bentuk cobaan hidup

Filed under: Tentang Film — dongengfilm @ 4:28 am

Dua setengah tahun yang lalu saya pernah diundang salah satu lembaga pendidikan republik untuk bicara soal film. Temanya adalah “Citra Film Indonesia Terhadap Pendidikan.”

Ketika tema ini saya lontarkan pada seorang teman yang adalah pekerja film, komentarnya hanya satu: “Temanya Orde Baru banget.”

Saya tertawa mendengar komentar itu. Pasalnya saya juga heran ketika membaca tema tersebut.

Pada saat para pekerja film Indonesia sedang berupaya untuk membebaskan diri dari kekangan undang-undang dan peraturan perfilman republik yang ketika diundangkan pada dekade 1990an menjadikan film sebagai sarana propaganda pemerintah karena muatan film melulu dilihat dari sudut pandang pertahanan dan keamanan, sikap yang sama sekali tidak berubah tercermin dalam UU No. 33 Tahun 2009, maka ada sekelompok mahasiswa di Indonesia pada milenium berbeda mempertanyakan muatan film dikaitkan dengan pendidikan bangsa.

Seakan-akan kebobrokan, kalau memang ada dalam masyarakat, disebabkan oleh film-film nasional yang ditonton oleh masyarakat.

Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak tontonan di layar kaca yang muatannya bernuansa mimpi dan pembodohan masyarakat. Mulai dari penokohan yang biasanya mewakili kalangan ekonomi kuat sehingga penonton bisa melihat kehidupan kalangan atas di layar kaca sesuai dengan kehidupan kalangan atas yang dikenal oleh sang sutradara… artinya televisi mengajak mata penonton masuk ke dalam rumah-rumah yang sehari-hari hanya mereka lihat dari luar pagar; sampai acara-acara yang menyalurkan mimpi menjadi kaya mendadak.

Sebelum acara-acara kuis marak di televisi, mimpi menjadi kaya mendadak bisa disalurkan dengan cara memasang lotere atau undian. Setelah segala macam bentuk lotere dilarang pemerintah karena dianggap perjudian maka saluran mimpi pemirsa televisi supaya kaya mendadak pun paling tidak diwakili oleh para peserta acara kuis di layar kaca… syukur-syukur kalau upaya mendaftarkan diri mengikuti kuis diterima sehingga bisa ikut berpartisipasi langsung dalam upaya kaya mendadak itu atau rumahnya dikunjungi oleh utusan sebuah produk tertentu yang keliling membagi-bagikan uang.

Apakah acara-acara semacam itu harus dihapuskan? Tidak. Kita tidak punya hak untuk mencegah orang untuk menentukan pilihan hidupnya dengan cara menjadi bodoh ataupun pemimpi.

Pilihan Individu
Bagi saya, kalau kita tidak mau ikut menjadi bodoh dan pemimpi, caranya sederhana saja… matikan televisi di rumah Anda! Kalau Anda tanya pada saya acara-acara televisi sepuluh tahun terakhir ini, apalagi sinetron, acara kuis atau bahkan olahraga yang berhadiah, maka saya justru akan menjadi orang yang paling bodoh. Pasalnya, sudah bertahun-tahun saya tidak pernah menonton acara televisi kecuali berkaitan dengan berita dan pemutaran film cerita. Berita pun hanya yang benar-benar sedang hangat dibicarakan saja.

Segala macam diskusi, apalagi diskusi politik pakar sok pintar, juga tidak pernah saya tonton. Bagi saya, apapun yang disuguhkan televisi bisa saya peroleh melalui bacaan. Bacaan yang saya pilih karena saya memang tertarik membacanya,

Menonton televisi pada dasarnya juga adalah sebuah pilihan. Kalaupun, katakanlah, kita memilih untuk duduk malas di depan televisi dalam menunggu waktu tidur, dewasa ini ada banyak saluran televisi. Dalam satu saluran ada berbagai acara. Tidak hanya film, sinetron, talk show, tetapi juga ada acara musik, petualangan dan entah apa lagi. Masa’ sih dari sekian banyak acara yang tampil bersamaan di layar kaca tidak ada acara yang kita anggap bermutu bagi kita ataupun anggota keluarga kita?

Kalau pilihan mereka tidak sama dengan pilihan Anda, nah… Anda dihadapkan pada pilihan menerapkan prinsip demokrasi dalam keluarga atau tidak. Pada saat itulah Anda harus mengajarkan anggota keluarga Anda untuk belajar memilih yang menurut mereka adalah yang terbaik. Bahwa ada anggota keluarga yang kemudian protes karena ingin menghibur diri dengan menonton acara televisi adalah urusan lain lagi. Anda harus siap menerima kenyataan bahwa perbedaan pilihan itu adalah bagian dari keterbukaan berpikir dalam keluarga Anda.

Kalau dikembalikan ke tema yang berkaitan dengan pendidikan maka saya rasa semua kembali ke pendidikan di dalam keluarga masing-masing. Pendidikan sekolah hanya beberapa jam dalam sehari, Sisanya murid atau mahasiswa akan kembali ke rumah atau tempat kos masing-masing. Apakah sisa waktu itu mau dihabiskan dengan cara duduk manis dan menelan mentah-mentah semua suguhan yang muncul di layar kaca?

Kalau tidak bisa mendisiplinkan diri sendiri atau bila sebagai orangtua tidak bisa mendisiplinkan anak dalam memilih yang terbaik baginya, janganlah menyalahkan acara-acara televisi ataupun film yang sedang beredar, baik di bioskop maupun dalam bentuk VCD/DVD/Blue Ray (BD).

Berkaitan dengan film, apakah kita menganggap bahwa tidak ada kesadaran dari mereka yang mengeluarkan uang untuk membeli karcis bioskop, membeli cakram VCD, DVD ataupun BD bahwa dengan uang tersebut mereka bisa memilih jenis film yang sesuai dengan keinginan mereka? Kalau dianggap tidak mendidik, ya, jangan dibeli. Kok susah?

Kalau tidak mau anak kita melihat orang ciuman ya… jangan ijinkan menonton film yang bertemakan cinta remaja. Kalau tidak mau adik kita bermimpi naik mobil kebut-kebutan terus seenaknya menabrak rangkaian pedagang kakilima ya… jangan biarkan dia nonton VCD/DVD/BD film action. Kalau kita tidak mau seseorang tidak ketakutan di malam hari ya… jangan belikan karcis untuk nonton film horor.

Lagi-lagi kembali ke disiplin dalam memilih yang dimiliki oleh masing-masing individu. Kedisiplinan yang seharusnya sudah ditanamkan sejak usia dini. Jangan filmnya yang disalahkan. Jangan para pekerja film yang dibebankan tanggungjawab untuk mendidik insan penonton film mereka.

Keterbatasan Tema
Saat ini, dengan segala kekangan tertulis maupun tak tertulis yang diterapkan pemerintah terhadap pembuatan sebuah film, para kreator praktis tidak bisa berkreasi secara utuh dalam membuat film dari sudut pandang film sebagai bagian dari ekspresi sosial, ekonomi, politik, seni dan budaya dari para kreator tersebut. Kalau ditambah beban harus juga memasukkan pesan-pesan bernuansa pendidikan, wah, betapa membosankannya jalan cerita film-film nasional nantinya. Jangan kita lupakan bahwa mereka yang mau mengeluarkan uang untuk menonton ke bioskop ataupun membeli VCD/DVD/BD biasanya adalah mereka yang pergi menonton bukan untuk mencari pendidikan tambahan. Mereka mencari hiburan.

Saya ambil contoh film-film bertemakan horror yang banyak beredar saat ini. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak film horor nasional dibuat sekadarnya, ada yang terkesan asal jadi, ceritanya tidak masuk akal dan sebagainya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa untuk saat ini tema itulah yang paling banyak ditonton oleh masyarakat.

Menurut pendapat saya, hal itu berkaitan dengan kondisi psikologi masyarakat kita. Dalam keseharian, kebanyakan masyarakat kita bisa dibilang sudah tidak takut terhadap aturan-aturan yang lazimnya ada dalam tata kehidupan bernegara seperti pencurian, korupsi, manipulasi dan lain sebagainya. Sebagai manusia normal, naluri kemanusiaan mereka membutuhkan sesuatu yang mereka takuti.

Nah, karena terhadap orangtua tidak takut, aparat pemerintahan tidak ditakuti, aparat hukum tidak perlu ditakutii karena mereka melihat sosok-sosok yang seharusnya disegani dan bukan ditakuti itu ternyata hidup bergelimang cacat-cela, maka mereka pun mencari sosok yang yang bisa membangkitkan rasa takut: hantu dan kengerian yang ditimbulkannya!

Wajarlah bila film-film horor laku keras di bioskop. Tapi, jangan salah, banyak juga anggota masyarakat yang tidak mau mengeluarkan uang untuk film-film yang bertemakan horor. Kebutuhan akan ketakutan itu sudah terpenuhi oleh film-film horor ataupun mistik yang tampil di televisi.

Bahwa kenyataan ada yang tidak normal dalam masyarakat Indonesia, janganlah film yang dituding sebagai sumber pengacau pendidikan warganegara.

Memangnya ada pekerja film yang boleh mengangkat kebiadaban yang terjadi dalam sejarah politik, sosial maupun ekonomi Indonesia untuk difilmkan? Mengungkap sejarah politik pada tahun 1965, 1978 ataupun tragedi rasial yang terjadi pada tahun 1998? Bukankah itu bagian dari pendidikan sejarah bangsa? Kalaupun ada, pasti dibuat sehalus mungkin.

Ada banyak pekerja film yang ingin mengangkat tema-tema tersebut namun terbentur pada berbagai peraturan karena karya film masih tetap dilihat pemerintah dan berbagai aparatnya dari sudut pandang kepentingan penguasa, bukan sebagai sebuah karya.

Hambatan-hambatan bagi pekerja film dalam mengembangkan ide cerita yang masih terus diterapkan pemerintah sampai saat ini membuat pekerja film kebingungan. Tak heran tema yang paling aman yaitu percintaan remaja dan horor menjadi pilihan banyak pembuat film sejak rezim Orde Baru berkuasa hingga saat ini.

Contoh lain misalnya “dongeng” tentang korupsi. Jangankan kita menyinggung tentang kekayaan keluarga Cendana, yang lain lah, apakah ada film yang boleh bercerita tentang korupsi di masa Orde Lama misalnya? Kapan kasus korupsi Bulog bisa dijadikan cerita film? Kapan money politic yang terjadi dalam aneka pemilihan bisa dijadikan tema sebuah film cerita?

Meskipun para penulis skenario bisa menulis puluhan skenario fiktif tentang korupsi, saya tekankan sekali lagi… fiktif, namun sampai saat ini praktis tidak ada film yang bertemakan korupsi atau pejabat pemerintah yang korup. Alasannya sederhana sekali. Apapun yang ditulis tentang korupsi, berkaitan dengan jenjang jabatan manapun, pasti ada yang tersinggung. Nah, jelas tidak ada film tentang korupsi, tapi pada kenyataannya korupsi sudah lama sekali merupakan hal yang lumrah. Apakah korupsi terjadi karena film tidak mendidik penontonnya untuk anti korupsi? Kenapa film yang dijadikan kambing hitam?

Kalau kita mau jujur, kebiasaan mencari kambing hitam tanpa mau introspeksi ke diri sendiri tanpa kita sadari adalah pendidikan yang sudah ditanamkan pada diri kita semua sejak masih kecil. Siapakah yang paling sering kita jadikan kambing hitam?

Percaya atau tidak, maaf sebelumnya, adalah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Esa lah yang paling sering kita jadikan kambing hitam. Sedikit kegagalan dalam hidup, maka kegagalan itu dianggap cobaan atau belum diperkenankan oleh Yang Maha Kuasa. Jarang dilihat sebagai kesalahan rencana, kemalasan atau ketololan diri sendiri.

Anggap Cobaan
Bahwa sudah cukup lama film dituding memegang andil atas kebobrokan dalam masyarakat, memberi contoh yang tidak sesuai dengan moral (harapan) bangsa, terutama yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, saya melihatnya sebagai film dijadikan kambing hitam atas kegagalan para guru di sekolah, para orangtua di rumah maupun pemuka agama di lingkungan kelompok ibadah sesuai dengan agama yang dianut anggota masyarakat masing-masing.

Kalau boleh saya menghimbau, sambil kami para pekerja film mencoba memperjuangkan kebebasan kami dalam mengekspresikan karya dengan seluas-luasnya dan utuh, dan bila terjadi saya yakin tema film nasional akan semakin banyak seperti kita lihat pada dunia penulisan dan musik sejak era reformasi dimulai, maka anggaplah film-film yang ada saat ini sebagai bagian dari cobaan Yang Maha Kuasa… cobaan yang terjadi karena ulah para pembuat dan “penjaga” undang-undang maupun peraturan berkaitan dengan produksi film.

Hidup miskin atau pendidikan terlantar bisa dianggap sebagai cobaan hidup, padahal disebabkan oleh pemerintah yang sampai sekarang tidak membuktikan itikad baik untuk memperbaiki perekonomian dan sarana pendidikan bagi rakyatnya. Para pejabatnya asyik mementingkan diri sendiri, kelompok ataupun partai.

Kemiskinan tema film juga disebabkan oleh ketidakinginan pemerintah dalam membina dunia perfilman sebagai dunia karya dan tetap bertahan untuk melihatnya dari sudut kepentingan penguasa.

Sama kan?

Jadi, pertama, tingkatkan kesadaran Anda dalam memilih film yang akan ditonton. Kalau film yang ditonton ternyata tidak memuaskan dan dikhawatirkan bisa berdampak negatif terhadap pendidikan, maaf, balita yang Anda ajak nonton, ya… anggap saja sebagai cobaan tambahan, persiapan bagi putra-putri Anda dalam menghadapi kekerasan hidup nantinya.

Gampang kan!

Catatan:
Pada hari yang sama juga ditampilkan dalam Notes di akun facebook Tino Saroengallo.

Februari 11, 2010

Reaksi Terhadap Poster Film

Filed under: Tentang Film — dongengfilm @ 8:48 am

Gejala penolakan terpimpin oleh sebagian masyarakat terhadap poster “9 Naga” dan “Realita Cinta dan Rock ‘n Roll”, gelombang protes keras terhadap rencana penerbitan majalah Playboy mungkin terkait erat dengan pendidikan yang ditanamkan sejak kecil dalam masyarakat Indonesia: keagamaan. Manusia Indonesia merasa tidak pernah bisa melepaskan diri dari berbagai keterikatan peraturan berkaitan dengan rencana Tuhan. Salah satu akibatnya adalah manusia Indonesia sejak kecil selalu bersiap diri untuk mati dan masuk ke surga.

Pendidikan keagamaan sama sekali tidak salah.

Inti sebenarnya, menurut penulis, adalah mengajarkan agar manusia berinteraksi dengan baik dan benar dengan sesamanya manusia. Tapi manusia sendiri tidak bisa membedakan ajaran yang berkaitan hubungan antar manusia dengan ajaran hubungan antara manusia dengan Tuhan. Semua dicampur aduk. Penulis yakin tidak ada pendidikan agama yang mengajarkan manusia untuk menjadi Tuhan. Sebaliknya malah. Pendidikan agama mengingatkan manusia bahwa sebagai salah satu dari jutaan mahluk di alam semesta, manusia adalah mahluk yang lemah. Peringatan itu perlu karena manusia terlahir dengan satu sifat jelek yaitu mudah menjadi sombong dan lupa diri.

Peraturan-peraturan dalam ajaran agama dibuat agar manusia bisa menjadi bagian dari sebuah komunitas sosial tanpa mengganggu eksistensi orang lain. Tapi, entah karena kesombongan atau kebodohan manusia, peraturan-peraturan itu justru berakibat sebaliknya. Eksistensi tata pergaulan yang tertulis dalam kitab suci malah membuat sebagian masyarakat kita menjadikan diri mereka sejajar dengan Tuhan. Bermodalkan ajaran agama mereka dengan sombong menghakimi sesamanya, mencampuri tata pergaulan manusia dan Tuhan dengan memasukkan perbuatan sesamanya dalam kategori dosa dengan yang tidak.

Manusia lupa, suatu penilaian kadang sangat dipengaruhi oleh vested interest pribadi ataupun golongan. Misalnya saja, dalam kehidupan bernegara, kapan seseorang bisa dibilang pahlawan? Kapan ia malah dianggap penghianat? Eurico Guterres adalah seorang penghianat di mata bangsa Timor Leste, tapi di mata pemerintah Indonesia, ia seharusnya dianggap sebagai pahlawan.

Sebagian manusia lupa bahwa dalam menghakimi perbuatan manusia, Tuhan memiliki berbagai kelebihan. Misalnya, Tuhan tahu latarbelakang yang menjadi dasar suatu perbuatan dilakukan oleh manusia . Karena kemahatahuanNya, Tuhan tidak pernah perlu membentuk tim penyelidik fakta. Dasar tersebut menjadi bagian dari pertimbangan apakah suatu tindakan itu dianggap dosa atau tidak karena kemahaadilanNya. Kedua “maha” tersebut tidak dimiliki manusia.

Tanpa kedua “maha” tersebut, dengan segala keangkuhannya sebagian masyarakat kita malah merasa bisa menjadi tuhan. Turun ke jalan untuk menghakimi hal-hal yang pada dasarnya adalah hak prerogatif Tuhan atau hal-hal yang bersifat sangat personal. Apakah mereka betul-betul memahami apa yang mereka “perjuangkan” itu? Atau hanya karena mendapat upah dari “panitia” yang bisa membuat mereka melupakan kemiskinan hidup sesaat? Kemiskinan yang sebenarnya adalah akibat kesalahan manajemen pemerintah. Upah berbentuk rupiah itu merupakan bonus karena upah sebenarnya adalah janji yang dicekokin ke dalam benak mereka bahwa tindakan mereka akan diperhitungkan Tuhan sebagai pahala (baca: cicilan) untuk memperoleh tempat di surga sana.

Dilihat dari sudut kehidupan bernegara, banyak tindakan mereka membuat bangsa kita jalan di tempat atau bahkan mundur. Apalagi tindakan-tindakan yang bersifat teror itu seringkali diikuti dengan penghancuran fisik. Dilihat dari sudut keagamaan, mereka lupa bahwa Tuhan mempunyai kedua “maha” dalam menilai tindakan manusia tersebut di atas.

Apakah tindakan membela batasan pornografi dan pornoaksi yang mengakibatkan pemasungan hak asasi manusia yang bernama kreatifitas dan bisa mengakibatkan jutaan orang kehilangan nafkah akan dicatat sebagai setoran cicilan lahan di surga sana? Bila ada keyakinan itu, sudah waktunya kita menggugat pendidikan keagamaan selama ini!

Catatan:
Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat dalam milis Komunitas Film Jeruk Purut

Februari 5, 2010

Hello world!

Filed under: Tentang Film — dongengfilm @ 11:08 am

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

« Laman Sebelumnya

Blog di WordPress.com.