Dongengfilm's Blog

Februari 12, 2010

Production Service film asing ke Indonesia

Filed under: Tentang Film — dongengfilm @ 5:06 am

Setelah Filipina dan Thailand yang pernah diserbu oleh produksi film Hollywood berkaitan dengan pembuatan film-film tentang Perang Vietnam di tahun 1970 – 1980an, para produser internasional sempat beralih ke Malaysia pada tahun 1990an. Pembuatan film “Anne and The King” menjadi tolok ukur produksi film Hollywood di Malaysia.

Pada saat itu jalur masuk ke Indonesia masih sangat terbatas. Sikap curiga terhadap segala sesuatu yang berbau audio-visual dari negara asing oleh pemerintah Orde Baru berdampak pada kesulitan perijinan bagi para pembuat film internasional yang ingin menggunakan wilayah nusantara sebagai lokasi syuting mereka. Apalagi kalau cerita filmnya itu sendiri tidak ada hubungannya dengan Indonesia.

Pada pertengahan dekade 1990-an, film berskala Hollywood yang pernah diproduksi di Indonesia adalah “Victory”. Film yang disutradarai oleh Mark Peploe dan dibintangi oleh Irene Jacob, Rufus Sewell, Sam Neill dan Willem Dafoe ini mengambil lokasi syuting di Panarukan dan Besuki, Jawa Timur, selain di Tioman Island (Malaysia) dan studio di Jerman. Film ini merupakan produksi kerjasama tiga negara: Inggris, Perancis dan Jerman.

Kalau film asing tapi tidak berskala Hollywood pernah juga diproduksi pada awal 1990an, berjudul “Oeroeg”. Film Belanda yang disutradarai oleh Hans Hylkema ini beredar tahun 1993. Bintang Indonesia yang terlibat dalam film ini adalah Ayu Azhari.

Selain “Victory”, sebuah film laga kelas B juga pernah syuting di Indonesia… “Last To Surrender” yang dibintangi oleh Roddy Piper dan Han Su Ong. Film produksi perusahaan film dari Canada ini mengambil lokasi di Jakarta, Sukabumi dan Pelabuhan Ratu. Disutradarai oleh David Mitchell.

Bersamaan dengan produksi “Last To Surrender”, sebuah film produksi dari Belanda juga syuting di wilayah Sukabumi, berjudul “Tropic of Emerald” yang melibatkan bintang nasional kita seperti Christine Hakim dan Frans Tumbuan. Film ini beredar tahun 1998. Pada kurun waktu nyaris bersamaan, sebagian adegan dalam film “In God’s Hand” yang disutradari oleh Zalman King diproduksi di Bali. Film ini juga beredar tahun 1998.

Setelah keempat film tersebut di atas, praktis tidak ada lagi film asing yang datang produksi di Indonesia.

Setelah Reformasi 1998, kita mendengar adanya produksi film dari Jepang berjudul “Merdeka” yang mengambil lokasi di Semarang, Ambarawa dan sekitarnya. Film yang disutradarai oleh Yukio Fuji dan melibatkan aktris Indonesia Lola Amaria ini beredar pada tahun 2001.

Selain itu juga film “The Fall” yang disutradarai oleh Tarsem Singh, mengambil lokasi di Bali pada tahun 2004, dan khusus untuk tarian kecak menampilkan Ketut Rina dan puluhan warga desa Teges, Ubud. Ketut Rina, anak didik Sardowo W. Kusumo, memang sudah diakui sebagai penari internasional dan sering tampil di berbagai ajang festival tari di mancanegara.

Tahun 2009 mendatang sudah ada beberapa film internasional independen, skala sedang maupun skala studio yang berminat syuting di Indonesia. Mayoritas masih karena alasan sebagian ceritanya berkisah di Indonesia.

Dilihat dari kepentingan nasional, kedatangan produksi film cerita asing ke Indonesia tidak hanya akan membantu percepatan peningkatan profesionalisme pekerja film nasional, tetapi juga mereka datang sebagai pembawa devisa yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat dimana film tersebut diproduksi (akomodasi, konsumsi, sewa kendaraan dan lain-lain) serta para pekerja film nasional yang dilibatkan dalam produksi tersebut).

Dari beberapa film yang menunjukkan minatnya itu, baru satu judul yang selesai diproduksi, Eat Pray Love. Film yang disutradarai oleh Ryan Murphy ini merupakan film studio pertama yang diproduksi di Indonesia. Dilihat dari ukuran film cerita dunia, inilah yang disebut film Hollywood. Melibatkan sekitar 90 orang kru asing, 150 kru Indonesia ditambah sekitar 200 kru pendukung. Pemain yang ikut syuting di Indonesia adalah Julia Roberts dan Javier Bardem. Aktris kondang nasional Christine Hakim juga terlibat sebagai aktris pendukung.

Saat ini pekerja film nasional kebanyakan berkarier dan mengasah kemampuan profesionalisme mereka di Jakarta. Akibatnya industri perfilman tetap terpusat di Jakarta. Bila ada kru asing yang syuting di Bali misalnya, meskipun pada awalnya mayoritas akan melibatkan pekerja film dari Jakarta, namun mereka pasti juga mendidik tenaga pekerja yang berasal dari Bali sendiri. Seleksi alam akan melahirkan kru film profesional dari wilayah tersebut.

Sampai saat ini, kendala utama bagi produksi asing adalah visa. Ijin produksi dikeluarkan bila perusahaan asing tersebut mengambil mitra kerja perusahaan film di Indonesia. Tetapi visa kerja masih tetap menjadi masalah. Saat ini VITAS hanya memberikan KITAS yang sifatnya single entry visa dan harganya cukup mahal (Rp. 6.000.000,00 ditambah pajak USD 100 per bulan… per orang).

Meski semahal itu, tetap saja sangat merepotkan bagi para pekerja film asing karena sifatnya yang single entry. Dalam industri film, perjalanan keluar masuk ke mancanegara adalah hal lumrah. Apalagi tingkatan produser dan sutradara. Bisa saja tiba-tiba dia harus meeting ke negara lain, dan sehari kemudian kembali ke Indonesia untuk melanjutkan persiapan atau syuting. Kemudahan transportasi dewasa ini memungkinkan kecepatan manusia bergerak dari satu wilayah ke tempat lain di muka bumi.

Lebih merepotkan lagi adalah kenyataan bahwa proses pengurusan visa kerja berkisar 3-4 minggu. Kenapa karena keperluan penting selama satu dua hari akan mengakibatkan dia harus menanti 3-4 minggu supaya bisa melanjutkan persiapan atau produksi filmnya?

Kalau saja visa kerja yang dikeluarkan sifatnya multi entry, kerepotan di atas tidak perlu terjadi dan mereka tetap bisa bekerja legal dalam pekerjaan yang mendatangkan devisa bagi negara kita.

Bahwa para pemegang KITAS juga harus merasakan diri sebagai lumrahnya warga jajahan seperti halnya warganegara Indonesia… harus membayar pajak fiskal kalau bepergian ke luar negeri… ya lumrah saja. Wong warganegara sendiri saja masih diperlakukan sebagai warga jajahan oleh pemerintahnya sendiri untuk memenuhi crash program penanggukan pajak tanpa upaya, masakan mereka diistimewakan?

(Saat ini bagi warganegara pemilik NPWP, tidak ada lagi kewajiban membayar pajak fiskal. Kenyataan bahwa dulu sangat sulit untuk memperhitungkan kembali pajak fiskal dengan perhitungan pajak tahunan membuat wajib pajak resah. Setelah lebih dari 60 tahun menikmati pemasukan pajak kontan cepat dari rakyat, pemerintah akhirnya membebaskan pemilik NPWP dari kewajiban membayar pajak fiskal.)

Dilihat dari kesiapan wilayah dalam menerima produksi asing, Indonesia memiliki beberapa wilayah yang sudah memiliki cukup fasilitas untuk menjadi tuan rumah produksi berskala Hollywood. Wilayah yang sudah siap adalah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali dan Lombok.

Faktor pertama adalah fasilitas penginapan, komunikasi dan transportasi. Faktor kedua adalah jalan penghubung dari Jakarta ke wilayah-wilayah tersebut. Faktor kedua ini disebabkan karena peralatan film profesional yang memenuhi standard internasional masih terpusat di Jakarta.

Pada prinsipnya para produser internasional ini tidak minta banyak dalam melakukan produksi di sebuah negara asing: kepastian rambu-rambu dan keleluasaan kerja bila mereka mematuhi rambu-rambu tersebut.

Artinya, bila sudah keluar surat ijin produksi dari DepBudPar, seharusnya surat tersebut diakui oleh pemerintah daerah maupun aparat keamanan pusat dan setempat. Mereka cukup melaporkan kedatangan mereka dan membangun kerjasama yang baik. Bukan harus meminta ijin ke setiap wilayah, sipil maupun non-sipil, dan seterusnya sehingga jangankan sebelum syuting dimulai, selama syuting berjalan masih terbuka kemungkinan adanya pelarangan yang dikeluarkan oleh entah siapa, bahkan lembaga atau organisasi non-pemerintah seperti MUI, Bapfida ataupun FPI (ekstrimnya).

Bila ijin dikeluarkan, pemerintah harus mencegah terulangnya penghentian produksi seperti terjadi pada film The Bali Project yang disutradarai oleh Michael Jenkins. Film produksi Australia ini dihentikan oleh pemda Bali dengan alasan masyarakat Bali belum sembuh dari trauma bom Bali 2002. Film ini memang bercerita tentang latar belakang tragedi tersebut.

Harus ada jenjang organisasi pemerintahan yang jelas, berwibawa dan produk-produknya diakui dan dipatuhi oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun sipil di bawahnya.

Aparat keamanan harusnya bertindak mengamankan ijin yang sudah dikeluarkan oleh lembaga yang berwewenang… dalam hal produksi film adalah DepBudPar.

3 Komentar »

  1. the bali project…prestasi indonesia yg terhenti…. film yg proses pembuatannya disambut oleh bom bali 2. sy tau persis pembuatan film ini. piss

    Komentar oleh angga — Maret 11, 2010 @ 9:00 pm | Balas

  2. saya sedang mempelajari perihal production service untuk saya terus bahas di kelas saya dan sebagai bahan pembelajaran saya…….kemana saya harus mencari data, ini seperti hal yang tersembunyi–entahlah, setiap bulan ada film baru dan beragam, adakah yang dapat memberitahu saya perihal informasi ini….

    Komentar oleh ratnaningsih — Januari 19, 2011 @ 11:51 am | Balas

    • Memang belum ada buku tentang itu. Anda harus mencoba obrol dengan rekan-rekan seperti mBak Dotty, mas Gunawan Raharja, mas Yusuf Raharjo atau Bapak Gary Hayes. Mereka lah pakar production service di Indonesia.

      Komentar oleh dongengfilm — Januari 30, 2011 @ 2:09 pm | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.