Dongengfilm's Blog

April 20, 2012

“Gattaca” (Andrew Niccol, 1997)

Filed under: Resensi Film — dongengfilm @ 7:38 am

Bisakah kita bayangkan bila nasib manusia sebenarnya sudah ditentukan sejak ia lahir? Elemen genetikal dengan kelebihan dan kekurangannyanya, yang bisa dideteksi oleh peralatan mutakhir secara akurat, menjadi patokan baku nasib seseorang. Bukan pendidikan ataupun kemampuannya. Tapi elemen genetikal!

Film ini berkisah tentang masa depan dengan penekanan “masa depan yang tidak jauh lagi dari sekarang.”

Masih ingat novel George Orwell “Nineteen Eighty-Four” yang sudah terbukti kebenarannya? Sebagai manusia modern dengan segala gadget dan kartu identitas, pergerakan kita bisa selalu dipantau oleh ‘Big Brother‘ (alias negara/penguasa). Telepon genggam yang dalam keadaan mati pun sebenarnya bisa tetap dilacak posisinya. Ramalan Orwell yang ditulis pada tahun 1949 terbukti terjadi bahkan sebelum tahun 1984.

Dalam “Gattaca” penandaan identitas seseorang dilakukan dengan uji darah maupun urine. Artinya, secara teoritis tidak mungkin dipalsukan mengingat data sudah tercatat pada saat individu lahir. Selain itu, pengujian selalu dilakukan di tempat bersama individu bersangkuta.

Film ini menceritakan tentang kolaborasi seseorang yang ditakdirkan sebagai tak punya masa depan (VIncent Freeman) dengan seseorang yang terlahir sebagai ‘manusia sempurna’ (Jerome E. Morrow) tapi pada kenyataannya harus hidup cacat akibat kecelakaan mobil. Meski hidup di atas kursi roda, secara hukum, ia tetap dianggap sebagai ‘manusia sempurna’ karena identitas diri diuji dengan pembuktian genetikal yang diambil dari darah ataupun urine.

Untuk menjadi seorang astronot, seseorang harus memiliki ‘modal dasar’ genetika yang sempurna. Kolaborasi kedua sosok tersebut, Vincent Freeman (diperankan oleh Ethan Hawke) dan Jerome E. Morrow (diperankan oleh Jude Law), dengan ketelitian dan dukungan teknologi canggih yang mereka kembangkan dan jalankan dengan disiplin penuh, akhirnya berhasil mengelabui segala sistem deteksi yang ada.

Vincent harus memastikan tubuhnya benar-benar bersih dari kemungkinan unsur tubuh seperti rambut (yang bisa dipakai untuk identifikasi) pada saat keluar rumah. Cita-cita Vincent untuk terbang ke ruang angkasa sebagai astronot pun nyaris terwujud hingga terjadi pembunuhan di Gattaca, pusat stasiun angkasa tempatnya bekerja.

Dapatkah ia mengatasi penyidikan pihak yang berwewenang yang dikomandani oleh adiknya sendiri? Adik yang sudah mencarinya bertahun-tahun dan percaya pada sistem bahwa hanya ‘manusia sempurna’ yang bisa meraih cita-cita mereka?

Film ini menjadi menarik bagi saya karena membuat saya berpikir tentang sistem pengawasan di berbagai negara di dunia dewasa ini, termasuk Indonesia, dan membandingkannya dengan novel “Nineteen Eighty-Four” serta upaya pemerintah Indonesia untuk memiliki data base warganegara.

Mereka terpaku pada apa yang dimiliki warga negara untuk proses identifikasi ketimbang identitas warga sebagai manusia. Pemberlakuan kartu INAFIS, setelah E-KTP, Kartu NPWP, , Kartu Kepegawaian, SIM, KTP, Kartu Keluarga, Kartu Pelajar ataupun Kartu Mahasiswa dan tentu saja Akte Kelahiran menunjukkan kelemahan sistem itu sendiri.

Seperti juga UU yang berlaku, urusan identitas warga negara pun serba tumpang tindih.

April 19, 2012

Akhmad Elvian. “Kotakapur: Dalam Lintasan Sejarah Bahari”. Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang, September 2011.

Filed under: Resensi Buku — dongengfilm @ 4:08 am

Meski diterbitkan oleh instansi pemerintah, buku ini ditulis atas inisiatif pribadi Akhmad Elvian yang ada Kepala Dinas instansi tersebut. Agak jarang kita bertemu dengan seorang birokrat yang rajin mencatat dan membagikan catatannya kepada masyarakat dalam bentuk buku. Sampai saat ini, mantan kepala sekolah ini sudah menulis 19 buku tentang berbagai hal terkait sejarah, budaya dan sosial di P. Bangka.

Buku “Kotakapur” tidak hanya menceritakan tentang prasasti Kotakapur itu sendiri tapi juga berbagai prasasti terkait dengan kedatuan Sriwijaya. Bahkan pembahasan berbagai bahasa yang dipakai dalam prasasti-prasasti itu. Harus kita akui penggalian data tentang kedatuan Sriwijaya masih sangat sedikit. Buku ini membantu menambah pengetahuan kita tentang kedatuan tersebut, selain tentang sejarah P. Bangka sendiri.

Sayang sekali pendekatan penulis menghindar dari pemakaian catatan kaki. Akibatnya dalam membaca konsentrasi kita digiring untuk berputar-putar, kita dipaksa untuk membaca hal-hal yang tidak terkait langsung dengan prasasti Kotakapur. Padahal, dengan catatan kaki, penulis sebenarnya bisa lebih memperdalam cerita tentang prasasti Kotakapur itu sendiri.

Meski demikian, bagi awam sejarah Sumatera seperti saya, buku ini aangat berguna mengenal lebih banyak sejarah kerajaan di Sumatera terkait dengan kedatuan Sriwijaya.

April 18, 2012

“Kita versus Korupsi” (Emil Heradi, Lasja Susatyo, Ine Febrianti dan Chairun Nissa, 2012)

Filed under: Tidak Dikategorikan — dongengfilm @ 5:40 am

Omnibus empat film pendek pesanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Transparenci Internasional Indonesia (TII). Untuk sementara ini tidak tayang di bioskop tapi penanyangan sesuai jadwal kampanye KPK dan TII.

Ada yang terasa ‘salah’ dari kesatuan empat flm ini.

“Rumah Perkara” yang disutradarai oleh Emil Heradi ceritanya terasa nggak mateng, permasalahan pun nggak selesai. Tapi harus diakui akting Teuku Rifnu Wikana sangat baik. Kerikuhannya, perasaan memberontak terhadap keadaaan yang disebabkan oleh kebodohan sendiri, semua bisa ia tampilkan dengan piawai. Baik dari ekspresi wajah maupun gerak tubuh yang menunjukkan keragu-raguan diri.

Datangnya kesadaran sosok yang diperankan oleh Nicholas Saputra dalam “Aku Padamu” yang disutradarai oleh Lasja Susatyo terasa dipercepat. Seakan dapat wangsit. Padahal karakter yang ia bawakan sudah mencerminkan karakter seorang pragmatis dewasa ini. Alur cerita sendiri sangat menarik karena menenkankan sikap yang diteladani seseorang pada masa ia masih kecil akan terus membekas di dalam dirinya hingga dewasa.

Alur cerita yang kurang lebih sama, penekanan akan pentingnya pendidikan di masa kecil juga diangkat oleh “Selamat siang, Risa!” yang disutradarai oleh Ine Febrianti. Sosok jujur penjaga gudang beras diperankan dengan sangat baik oleh Tora Sudiro. Ia mewakili banyak orang desa yang harus berhadapan dengan godaan uang dari para pedagang desa. Risa dewasa akhirnya meneladani kejujuran sang ayah saat harus mengambil keputusan.

Film terakhir, “psstt… jangan bilang siapa-siapa” yang disutradarai oleh Chairun Nissa berhasil mewakili generasi ‘pragmatis’ masa kini. Generasi yang sudah tidak bisa membedakan antara mencatut sebagai salah satu tindak korupsi dengan tindak kejelian dalam mencari uang tambahan. Guru menjual buku pasti cari pemasukan tambahan. Tapi bisa juga mempengaruhi objektivitas dalam memberi nilai pekerjaan murid-muridnya.

Satu catatan khusus saya terkait karakter dan alur cerita omnibus ini. Penampilan stereotip keturunan Cina Perantau.

Dalam “Selamat siang, Risa!” sosok engkoh desa penyuap diperankan oleh Verdi Soelaiman. Sebaliknya, dalam “psst… jangan bilang siapa-siapa” sosok tekun menabung dan tidak kenal menyerah diperankan oleh Alexandra Natasha. Mereka pun adalah bagian dari masyarakat kita.

Meski ada yang terasa ‘salah’ yang kita rasakan setelah menonton film ini, namun secara umum “Kita versus Korupsi” mengingatkan kita semua bahwa korupsi diawali dari diri seseorang, pendidikan dalam sebuah keluarga… dari hal-hal yang kecil. Tepat!Gambar

“Payung Hitam” (Chairun Nissa, 2011)

Filed under: Resensi Film — dongengfilm @ 1:10 am

Film ini membawa saya kembali ke tahun 1998 ketika demonstrasi marak melanda seluruh Indonesia. Juga ke tahun 2002 ketika saya berkenalan dengan Ibu Sumarsih, ibu dari Wawan.

Wawan adalah korban pertama Tragedi Semanggi I yang wafat ditembak oleh para begundal Wiranto (pada waktu itu) di depan Universitas Atmajaya, Jakarta pada Jumat, 13 November 1998.

Ibu Sumarsih masih tetap gigih memperjuangkan keadilan. Terus menuntut keadilan bagi putranya. Teguh berpanas-panas, mencoba menyentuh hati para presiden batu. Gencar menulis surat yang sudah ratusan jumlahnya ke banyak petinggi era reformasi yang seharusnya tahu diri bahwa mereka bisa mencapai posisi mereka sekarang karena keberhasilan reformasi. Tanpa reformasi mereka paling-paling menjadi keset para begundal Soeharto.

Film ini memperlihatkan tindakan semi kekerasan yang dilakukan oleh para aparat muda kepolisian, mereka yang bisa dilihat menjadi polisi setelah Reformasi 1998. Dan… ternyata… mereka tidak berbeda dengan senior mereka. Mereka pun sudah dilatih dan terlatih untuk menggunakan tindakan represif terhadap para demonstran damai.

(Terkait dengan demontrasi anti kenaikan BBM baru-baru ini, kita tahu bahwa rejim SBY memang hanya bersedia ‘bergaul’ dengan kelompok anarkis seperti FPI dan FUI. Sesama anarkis tidak boleh saling mendahului, itulah motto hidup mereka!)

Selain keteguhan perjuangan Ibu Sumarsih, film ini juga menceritakan upaya warga desa Rumpin memperoleh kembali hak mereka atas tanah di desa mereka yang telah diambil oleh AURI. ‘Oknum’ AURI tidak hanya menduduki lahan tapi juga merusaknya sehingga ladang nafkah masyarakat petani terganggu.

Pada akhir film kita tahun bahwa upaya warga desa Rumpin tidak sia-sia. AURI, meski belum mengembalikan hak tanah kepada rakyat, telah menghentikan proyek yang merusak lingkungan di sana. Masyarakat bisa bernafas kembali. Entah sampai kapan.

Membuat film seperti “Payung Hitam” ini memang tidak mudah. Kelihatannya hanya cukup merekam berbagai aksi dan demonstrasi, ditambah wawancara beberapa tokoh inti, ‘dijahit’ menjadi satu, maka jadilah sebuah film. Ada benarnya. Tetapi tantangan utama adalah menjaga penonton agar tidak bosan melihat kumpulan adegan aksi dan demonstrasi yang praktis akan terasa monoton kalau tidak dilengkapi dengan benang merah cerita yang fokus.

Chairun Nissa mencoba berkonsentrasi mengikuti dua sosok demonstran, keduanya perempuan, keduanya tidak mengelah rasa takut, dan sudah menghilangkan kata MENYERAH dari kosa kata perjuangan mereka. Merekalah ‘Cut Nyak Din’ abad XXI.

Selamat untuk Chairun Nissa yang dengan film “Payung Hitam’ ini membantu kita mengingatkan diri untuk tidak LUPA akan berbagai kasus sosial dan kemanusiaan yang SENGAJA DIABAIKAN oleh pemerintah berkuasa era reformasi.

April 10, 2012

“Sanubari Jakarta” (Tika Pramesti, Dinda Kanyadewi, Lola Amaria, Alfrits John Robert, Aline Jusria, Adriyanto Waskito Dewo, Billy Christian, Kirana Larasati, Fira Sofiana dan Sim F, 2012).

Filed under: Resensi Film — dongengfilm @ 2:20 am

“Sanubari Jakarta” (Tika Pramesti, Dinda Kanyadewi, Lola Amaria, Alfrits John Robert, Aline Jusria, Adriyanto Waskito Dewo, Billy Christian, Kirana Larasati, Fira Sofiana dan Sim F, 2012).

Film indie dengan modal awal dari empat lembaga sponsor. Mungkin tetap masuk kategori indie karena sponsor tidak menyumbang banyak sehingga tidak bisa disebut investor.

Mengingat di Indonesia tidak ada sistem studio, paling-paling rumah produksi yang bermodal cukup kuat, meski dapat bantuan sponsor, film ini masih sah untuk menyebut diri sebagai film indie.

Kalau dibandingkan dengan situasi di Amerika Serikat (AS) dimana pekerja film di New York memelopori gerakan film indie sebagai upaya pemberontakan terhadap cengkeraman studio besar dari Hollywood seperti Warner Bros., Sony Pictures, Paramount, Columbia dan sebagainya yang mendikte industri film, maka (sebenarnya) semua film di Indonesia masuk kategori film indie.

Di AS ‘musuh’ film indie adalah studio. Di Indonesia ‘musuh’ pekerja film adalah jaringan bioskop yang memonopoli lapak eksibisi. Persamaannya adalah kalau di AS film indie (diam-diam) berharap dilirik oleh studio, di Indonesia berharap bisa diputar di jaringan bioskop monopoli.

Khusus untuk film “Sanubari Jakarta” penekanan diri sebagai film indie mungkin karena produksi dilandaskan pada semangat membuat film atas dasar kebersamaan (dana hibah dari sponsor dimanfaatkan untuk biaya produksi, sementara upah kerja menjadi nomor ke sekian atau dibayar berupa saham atas kemungkinan keuntungan dari film setelah beredar) untuk mengubah kecenderungan film industri (rumahan) yang semakin ngaco dan pendekatan konveksi… pabrik barang kodian sesuai selera.

Tema yang diangkat rumah produksi ‘konveksi’ umumnya adalah tema yang sedang laris manis di pasaran seperti horor seram, horor komedi, horor seks, seks sensual, seks horor, atau komedi situasi, komedi slapstick, komedia seram ataupun komedi seks. Setelah keberhasilan “The Raid” menerobos jaringan pemasaran film laga internasional, bisa diduga sebentar lagi ‘konveksi’ film nasional akan memproduksi banyak film laga. Para pesilat tiba-tiba menjadi bintang film semua… he he he…

“Sanubari Jakarta” mengangkat tema yang berkaitan dengan kehidupan sebagian masyarakat kota yang memiliki kecenderungan seksual berbeda: kaum gender ketiga. Berbeda dengan banyak film tentang kaum gay ataupun transgender, film ini menampilkan 10 cerita dengan 10 situasi yang berbeda. Penyajiannya pun tidak cengeng. Bukan film yang alur ceritanya seakan-akan sang tokoh mengharapkan pengakuan atas eksistensi mereka yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

(Berbeda dari harapan tradisi atau keluarga yang tidak jarang terpojok untuk berlapang-dada menutup mata pada kenyataan asalkan tidak menjadi pembicaraan orang sekitar.)

Meski masih ada cerita tentang kerikuhan pada dorongan pilihan yang dimiliki pribadi tertentu, namun tidak ada kecengenangan ‘perjuangan’ persamaan hak seperti yang sering kita lihat dalam film-film tentang gender ketiga dan deviasai kecenderungan seksual pada umumnya.

Mulai dari kasus gay yang masih ragu-ragu akan pilihan hidupnya, waria akibat tekanan ekonomi, gay di kalangan buruh, gay dan lesbian muda yang belum berani “come out from the closet” karena takut (atau tidak mau mengecewakan) orangtua, pasangan suami istri yang ternyata adalah gay dan lesbian, pasangan yang setelah dewasa menjadi kekasih padahal di masa kecil mereka sejenis,wanita yang menjalani operasi menjadi pria dan akhirnya hidup kesepian di hari tua (diperankan dengan sangat baik oleh Arswendi Nasution), lesbian yang ‘playboy perempuan’ hingga wanita sesungguhnya yang harus menyamar menjadi pria di lingkungan kerja yang melecehkan kemampuan perempuan.

Kaum gender ketiga maupun kaum gay yang ditampilkan dalam “Sanubari Jakarta” ada dalam kehidupan masyarakat kita. Tentu saja kita bisa saja menuding mereka menyalahi kodrat dan hidup dalam gelimang dosa, tapi bukan itu isunya. Isunya adalah mereka memang ada, hidup, bekerja, berkarya, sukses, gagal, tertindas atau bahagia di antara keseharian kita. Mereka bisa jadi adalah teman dekat kita sendiri tanpa kita ketahui pilihan gender ataupun orientasi seksual yang membuatnya nyaman.

Meski terdiri atas 10 cerita yang dikerjakan oleh 10 sutradara berbeda dengan warna pendekatan kreativitas masing-masing, namun transisi dari satu cerita ke cerita yang lain tidak terasa. Pemilihan pemandangan kota ataupun suasana jalan raya sebagai transisi antar cerita yang satu ke yang berikutnya menjadikanya sebagai cerita yang mengalir dari satu pojok ibukota ke sudut lain di kota metropolitan yang sama.

Perbedaan terasa dari pendekatan visual yang dipilih. Ada yang menggabungkan komik sebagai latar belakang set untuk bagian yang merupakan kisah di benak sosok (“1/2”, Tika Pramesti), gambar hitam putih (“Menunggu Warna”, Adriyanto Dewo), penggabungan layar wayang kulit untuk mempercepat intro maupun akhir cerita (“Topeng Srikandi”, Kirana Larasati), ataupun pendekatan visual yang ‘biasa”. Perbedaan ini tidak mengganggu, tapi malah memperkaya alur cerita film itu sendiri.

Pendekatan visual maupun artistik justru mempertegas kemajemukan masing-masing tokoh yang diceritakan. Pendekatan yang berbeda itu memperkaya gambar sekaligus memperjelas perbedaan kelas ekonomi dan karakter masing-masing tokoh.

Salah satu kelemahan utama banyak film nasional adalah skenario. Kalau skenario kuat kadang tak bisa diwujudkan menjadi gambar karena keterbatasan dana. Semangat membuat film panjang kadang membuat sutradara ‘mengarang bebas’ meski akhirnya menelan pil pahit karena keterbatasan dana produksi. ‘Semangat indie’ dalam film omnibus ini memaksa sutradara sejak awal berpikir realistis antara pengembangan kreativitas dengan dana yang ada tanpa harus mematikan kreativitas itu sendiri. Hasil akhir pun bisa lebih bulat dan utuh.

“Sanubari Jakarta” merupakan film kedua dengan pendekatan kolaborasi beberapa sutradara yang ditawarkan kepada masyarakat penonton di Indonesia pada waktu hampir bersamaan. Akhir Maret lalu “Hi5teria” (Chairun Nissa, Harvan Agustriansyah, Adriyanto Dewo, Nicho Yudifar, Billy Christian) yang diproduseri oleh Upi bekerja sama dengan Starvision selaku sang empunya modal.

Kerjasama para sutradara muda ini mengingatkan kita pada film “Kuldesak” (Nan T. Achnas, Mira Lesmana, Rizal Mantovani dan Riri Riza 1999) yang menjadi tonggak kebangkitan pekerja film muda melawan campur tangan pemerintah yang terlalu mengatur produksi film nasional saat itu.

Apakah pendekatan gabungan beberapa skenario pendek ini {“Hi5teria”, “Sanubari Jakarta”, dan sebelumnya “Perempuan Punya Cerita” (Fatimah Tobing, Lasja Fauzia, Nia Dinata, Upi, 2007)} bisa membantu lahirnya film-film yang dikerjakan dengan baik dan benar, yang tetap menjunjung tinggi kreativitas ketimbang permintaan pasar?

Catatan:
1. Permintaan pasar tidak hanya karena dibentuk oleh perusahaan ‘konveksi’ film nasional tetapi sebenarnya ‘diprakarsai’ oleh Lembaga Sensor Film dengan berbagai pembatasannya atas karya sesuai UU Perfilman yang sangat tidak mendukung perfilman nasional itu.
2. Film “Sanubari Jakarta” akan segera beredar di jaringan bioskop 21. Layak tonton bagi mereka yang berani menerima kenyataan akan eksistensi kaum gender ketiga dan gay maupun mereka yang tertarik pada trend baru dalam produksi perfilman nasional.

April 9, 2012

“Shadow Play: Indonesia’s Year of Living Dangerously” (Chris Hilton, 2003)

Filed under: Resensi Film — dongengfilm @ 8:12 am

Film tentang korban peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Mencoba menampilkan saksi-saksi sejarah yang tidak hanya berasal dari Indonesia (korban maupun pelaku) tetapi juga para wartawan yang meliput peristiwa tersebut, para diplomat Barat bahkan mantan agen CIA yang bertugas di tahun 1965.

Film ini juga menampilkan beberapa telegram rahasia dari diplomat Barat ke negara masing-masing, yang isinya antara lain tekad mendukung gerakan penggulingan kekuasaan Bung Karno, memojokkan kemelut yang terjadi sebagai ulah kaum komunis maupun bantuan dana untuk pembantaian mereka yang terkait dengan gerakan komunisme di Indonesia.

Pembantaian rakyat Indonesia yang dilakukan oleh aparat bersenjata Indonesia dan kaki tangannya.

Yang juga menarik adalah mengingat peristiwa tersebut terjadi pada masa Perang Dingin antara Sekutu di satu pihak dan negara-negara komunis di pihak lain, pemberitaan media dunia yang memang dikuasai oleh negara-negara Barat pro-Amerika Serikat cenderung menutupi kekejaman proses genosida karena perbedaan ideologi yang terjadi di Indonesia. Genosida “sejenis” juga terjadi di Kamboja kemudian oleh rejim Polpot.

Meski terkesan cukup memojokkan peran Barat namun film ini tetap tidak memberikan kesimpulan apa-apa mengenai dalang sesungguhnya dari peristiwa G30S itu.

Yang paling mengenaskan adalah permusuhan terhadap komunis dikondisikan sedemikian rupa selama 32 tahun masa kekuasaan Soeharto sehingga setelah kejatuhan Soeharto pun kerangka jenazah masih ditolak oleh sebagian masyarakat pada saat mau dikebumikan di kampung halaman asal korban.

Hal ini bisa jadi disebabkan oleh ketakutan masyarakat bila kekuatan Soeharto kembali berkuasa, tetapi bisa juga dilihat sebagai ketakutan para pelaku pembantaian, atau kaki tangan para dalang, setelah aksi kekejaman mereka terkuak lebar-lebar. Suatu ketakutan yang bisa dipahami karena kekejaman sejenis memang tidak pernah berhenti selama 32 tahun, sampai dengan 1998.

Kalau di masa 1965-1968 korban adalah yang terkait dengan gerakan PKI sebelum G30S atau para pendukung setia Bung Karno, maka korban sampai dengan tahun 1998 adalah para penentang kekuasaan Soeharto. Mereka yang tergabung dalam rejim Soeharto, terutama aparat bersenjata, semua bisa dibilang berlumuran, atau paling tidak terciprat, darah rakyat.

Tak heran bila Pramoedya Ananta Toer menjawab skeptis ketika ditanya tentang kemungkinan rekonsiliasai. Dia memang realistis karena sampai sekarang pun, tahun 2012, 14 tahun setelah jatuhnya Soeharto, isu G30S masih tetap menjadi isu sensitif!

April 7, 2012

Pambudi, A. “Fakta dan Rekayasa G30S: Menurut Kesaksian Para Pelaku”. MedPress, 2011.

Filed under: Resensi Buku — dongengfilm @ 9:20 am

Bila Anda sudah membaca berbagai duku terkait peristiwa G30S tahun 1965, buku ini bisa dibilang merupakan rekap dari berbagai bacaan itu.

Buku ini memuat cuplikan kesaksian dari banyak pelaku (atau mereka yang dinyatakan terlibat oleh pemerintah Orde Baru dan harus mendekam di penjara) maupun mereka yang nasibnya tidak berakhir di penjara dari menjadi pendukung rezim Orde Baru.

Cuplikan-cuplikan itu mengingatkan kita pada buku-buku seputar G30S yang pernah kita baca sebelumnya. Apalagi buku ini juga mengutip peristiwa itu dari catatan sejarah versi Orde Baru.

Di akhir buku, penyusun ‘menawarkan’ kesimpulan berupa beberapa teori yang berkaitan dengan upaya pengungkapan dalang dari G30S.

Meski tidak banyak data baru, buku ini tetap layak untuk dibaca oleh mereka yang memiliki ketertarikan untuk mencoba mengerti apa yang terjadi pada Peristiwa G30S itu.

Dan untuk mengerti sejarah, satu hal yang harus dicamkan pembaca buku ini: Sejarah bukanlah 2 x 2 = 4!

“The Raid” (Gareth Evans, 2011)

Filed under: Resensi Film — dongengfilm @ 5:24 am

Film laga dengan alur cerita sederhana. Sekelompok aparat keamanan terpilih menyerbu sarang penyamun yang menguasai sebuah gedung di tengah kota besar. Kemudian diketahui bahwa penyerbuan tim kecil ini diprakarsai oleh Letnan Wahyu (Pierre Gruno) yang mengejar jasa, ia bekerja untuk sosok misterius bernama Reza, menangkap gembong penjahat bernama Tama (Ray Sahetapy). Ironinya, ternyata Reza sudah membocorkan rencana penyerbuan ini kepada Tama karena Reza merupakan salah seorang petinggi negeri yang hidupnya dipasok oleh suapan dari dunia hitam.

Secara tersamar, film yang memusatkan diri di sebuah gedung ini mencoba mengangkat realita maraknya kejahatan di Indonesia adalah karena ada petinggi yang sudah “dimiliki” oleh para penjahat. Penjahat berkumpul dalam satu gedung dengan pimpinan yang telengas ini mengingatkan saya pada cerita dalam serial komik Kungfu Boy dimana ada sekelompok penjahat yang hidup bebas di dalam sebuah gedung di sebuah pulau terpencil.

Di antara tim Letnan Wahyu terdapat seorang anggota baru, Rama (Iko Uwais). ‘Anak ingusan’ ini bergabung dengan tim tersebut karena ingin menemui kakaknya, Andi (Donny Alamsyah). Kakak yang sudah menghilang bertahun-tahun dari kehidupan keluarganya. Andi menjadi tangan kanan Tama. Selain Andi, Tama juga memiliki Mad Dog (Yayan Ruhian), ‘tangan kiri’-nya yang sangat telengas dan jagoan ilmu silat.

Sesederhana itu alur ceritanya. Namun penyajiannya dahsyat!

Ilmu bela diri yang ditampilkan, ilmu silat, sudah kita kenal dan pernah lihat puluhan tahun. Tapi penyajian dalam gerak cepat dan telengas, belum pernah kita lihat sebelumnya. Biasanya ilmu silat ditampilkan dalam gerakan pelan dan dipenuhi dengan jurus kembangannya, bukan inti jurus yang sebenarnya sangat mematikan dan memanfaatkan seluruh anggota tubuh sebagai senjata.

Editing film ini juga sangat rapih. Penampilan setiap efek darah, tampak nyata. Saya bisa bayangkan memar-memar yang dirasakan para pemain setiap kali squib diledakkan di kulit untuk memuncratkan darah. Tim Efek sukses berat dalam memuncratkan darah secara rapih.

Belum lagi kalau kita bicara koreografi perkelahian yang jarak dekat dan gerakan cepat. Tidak tampak seperti koreografi perkelahian, lebih seperti gerak refleks masing-masing pelaku perkelahian dalam menangkis dan membalas lawan… mungkin karena gerakan cepat dan terekam nyaris utuh oleh kamera, tapi pasti karena konon gerakan-gerakan perkelahian ini dilatih selama dua bulan sebelum syuting dimulai. Itulah gunanya latihan.

Kerapihan editing dalam perkelahian ‘terasa’ sekali dalam adegan perkelahian pamungkas antara Tama dan Andi melawan Mad Dog. Kalau saja saya tidak mengenal Dony Alamsyah yang saya tahu tidak memiliki ilmu bela diri setingkat yang ditampilkan dalam adegan tersebut, saya pasti terkecoh. Pemeran pengganti (stunt double) tidak terlihat sama sekali sosoknya sebagai pengganti. Mungkin karena make up tapi pasti karena koreografi dan penyuntingan yang apik. Hanya ada satu gerakan yang nyaris ‘membocorkan’ identitas si pemeran pengganti itu.

Dengan hadirnya “The Raid“, Gareth Evans telah memperkanalkan ilmu bela diri baru untuk film-film laga dunia yang bisa memuaskan dahaga ketelengasan dalam perkelahian dan darah. Setelah tinju di era film koboi, kungfu era David Chiang (Shaw Brothers), karate era Chuck Norris, kungfu modern era Bruce Lee, street fighting yang diperkenalkan film The Warriors (Walter Hill, 1979), kick boxing era Jeanne-Claude Van Damme, aikido era Stevan Seagal, capiora dari Brazil, kini kita memasuki era pencak silat Iko Uwais dan Yayan Ruhian.

Wajarlah bila saat ini “The Raid” membuat Hollywood kalang kabut dan langsung mengontrak para petinggi film ini untuk membuat film “The Raid” versi Hollywood… dengan catatan, koreografi perkelahian tetap ditangani oleh Iko Ruwais dan Yayan Ruhian. Selamat untuk tim “The Raid“.

Ada satu catatan khusus saya pribadi untuk film “The Raid” ini. Penampilan kelompok parang berwajah Ambon mengingatkan saya pada film tentang perang saudara di Rwanda, baik itu “Hotel Rwanda” (Terry George, 2004) maupun “Sometimes in April” (Raoul Peck, 2005). Itu kalau dalam cerita film. Dalam kehidupan keseharian, bunyi parang digesekkan ke dinding, mengingatkan saya pada suasana di kota Ambon pada akhir tahun 2000 dan awal tahun 2001.

Yang pasti, mengingat darah dan darah dalam film ini, film ini HARUS ditonton oleh semua penggemar film laga, tetapi TIDAK BOLEH ditonton oleh remaja, APALAGI oleh anak kecil.

« Laman Sebelumnya

Blog di WordPress.com.