“Sanubari Jakarta” (Tika Pramesti, Dinda Kanyadewi, Lola Amaria, Alfrits John Robert, Aline Jusria, Adriyanto Waskito Dewo, Billy Christian, Kirana Larasati, Fira Sofiana dan Sim F, 2012).
Film indie dengan modal awal dari empat lembaga sponsor. Mungkin tetap masuk kategori indie karena sponsor tidak menyumbang banyak sehingga tidak bisa disebut investor.
Mengingat di Indonesia tidak ada sistem studio, paling-paling rumah produksi yang bermodal cukup kuat, meski dapat bantuan sponsor, film ini masih sah untuk menyebut diri sebagai film indie.
Kalau dibandingkan dengan situasi di Amerika Serikat (AS) dimana pekerja film di New York memelopori gerakan film indie sebagai upaya pemberontakan terhadap cengkeraman studio besar dari Hollywood seperti Warner Bros., Sony Pictures, Paramount, Columbia dan sebagainya yang mendikte industri film, maka (sebenarnya) semua film di Indonesia masuk kategori film indie.
Di AS ‘musuh’ film indie adalah studio. Di Indonesia ‘musuh’ pekerja film adalah jaringan bioskop yang memonopoli lapak eksibisi. Persamaannya adalah kalau di AS film indie (diam-diam) berharap dilirik oleh studio, di Indonesia berharap bisa diputar di jaringan bioskop monopoli.
Khusus untuk film “Sanubari Jakarta” penekanan diri sebagai film indie mungkin karena produksi dilandaskan pada semangat membuat film atas dasar kebersamaan (dana hibah dari sponsor dimanfaatkan untuk biaya produksi, sementara upah kerja menjadi nomor ke sekian atau dibayar berupa saham atas kemungkinan keuntungan dari film setelah beredar) untuk mengubah kecenderungan film industri (rumahan) yang semakin ngaco dan pendekatan konveksi… pabrik barang kodian sesuai selera.
Tema yang diangkat rumah produksi ‘konveksi’ umumnya adalah tema yang sedang laris manis di pasaran seperti horor seram, horor komedi, horor seks, seks sensual, seks horor, atau komedi situasi, komedi slapstick, komedia seram ataupun komedi seks. Setelah keberhasilan “The Raid” menerobos jaringan pemasaran film laga internasional, bisa diduga sebentar lagi ‘konveksi’ film nasional akan memproduksi banyak film laga. Para pesilat tiba-tiba menjadi bintang film semua… he he he…
“Sanubari Jakarta” mengangkat tema yang berkaitan dengan kehidupan sebagian masyarakat kota yang memiliki kecenderungan seksual berbeda: kaum gender ketiga. Berbeda dengan banyak film tentang kaum gay ataupun transgender, film ini menampilkan 10 cerita dengan 10 situasi yang berbeda. Penyajiannya pun tidak cengeng. Bukan film yang alur ceritanya seakan-akan sang tokoh mengharapkan pengakuan atas eksistensi mereka yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
(Berbeda dari harapan tradisi atau keluarga yang tidak jarang terpojok untuk berlapang-dada menutup mata pada kenyataan asalkan tidak menjadi pembicaraan orang sekitar.)
Meski masih ada cerita tentang kerikuhan pada dorongan pilihan yang dimiliki pribadi tertentu, namun tidak ada kecengenangan ‘perjuangan’ persamaan hak seperti yang sering kita lihat dalam film-film tentang gender ketiga dan deviasai kecenderungan seksual pada umumnya.
Mulai dari kasus gay yang masih ragu-ragu akan pilihan hidupnya, waria akibat tekanan ekonomi, gay di kalangan buruh, gay dan lesbian muda yang belum berani “come out from the closet” karena takut (atau tidak mau mengecewakan) orangtua, pasangan suami istri yang ternyata adalah gay dan lesbian, pasangan yang setelah dewasa menjadi kekasih padahal di masa kecil mereka sejenis,wanita yang menjalani operasi menjadi pria dan akhirnya hidup kesepian di hari tua (diperankan dengan sangat baik oleh Arswendi Nasution), lesbian yang ‘playboy perempuan’ hingga wanita sesungguhnya yang harus menyamar menjadi pria di lingkungan kerja yang melecehkan kemampuan perempuan.
Kaum gender ketiga maupun kaum gay yang ditampilkan dalam “Sanubari Jakarta” ada dalam kehidupan masyarakat kita. Tentu saja kita bisa saja menuding mereka menyalahi kodrat dan hidup dalam gelimang dosa, tapi bukan itu isunya. Isunya adalah mereka memang ada, hidup, bekerja, berkarya, sukses, gagal, tertindas atau bahagia di antara keseharian kita. Mereka bisa jadi adalah teman dekat kita sendiri tanpa kita ketahui pilihan gender ataupun orientasi seksual yang membuatnya nyaman.
Meski terdiri atas 10 cerita yang dikerjakan oleh 10 sutradara berbeda dengan warna pendekatan kreativitas masing-masing, namun transisi dari satu cerita ke cerita yang lain tidak terasa. Pemilihan pemandangan kota ataupun suasana jalan raya sebagai transisi antar cerita yang satu ke yang berikutnya menjadikanya sebagai cerita yang mengalir dari satu pojok ibukota ke sudut lain di kota metropolitan yang sama.
Perbedaan terasa dari pendekatan visual yang dipilih. Ada yang menggabungkan komik sebagai latar belakang set untuk bagian yang merupakan kisah di benak sosok (“1/2”, Tika Pramesti), gambar hitam putih (“Menunggu Warna”, Adriyanto Dewo), penggabungan layar wayang kulit untuk mempercepat intro maupun akhir cerita (“Topeng Srikandi”, Kirana Larasati), ataupun pendekatan visual yang ‘biasa”. Perbedaan ini tidak mengganggu, tapi malah memperkaya alur cerita film itu sendiri.
Pendekatan visual maupun artistik justru mempertegas kemajemukan masing-masing tokoh yang diceritakan. Pendekatan yang berbeda itu memperkaya gambar sekaligus memperjelas perbedaan kelas ekonomi dan karakter masing-masing tokoh.
Salah satu kelemahan utama banyak film nasional adalah skenario. Kalau skenario kuat kadang tak bisa diwujudkan menjadi gambar karena keterbatasan dana. Semangat membuat film panjang kadang membuat sutradara ‘mengarang bebas’ meski akhirnya menelan pil pahit karena keterbatasan dana produksi. ‘Semangat indie’ dalam film omnibus ini memaksa sutradara sejak awal berpikir realistis antara pengembangan kreativitas dengan dana yang ada tanpa harus mematikan kreativitas itu sendiri. Hasil akhir pun bisa lebih bulat dan utuh.
“Sanubari Jakarta” merupakan film kedua dengan pendekatan kolaborasi beberapa sutradara yang ditawarkan kepada masyarakat penonton di Indonesia pada waktu hampir bersamaan. Akhir Maret lalu “Hi5teria” (Chairun Nissa, Harvan Agustriansyah, Adriyanto Dewo, Nicho Yudifar, Billy Christian) yang diproduseri oleh Upi bekerja sama dengan Starvision selaku sang empunya modal.
Kerjasama para sutradara muda ini mengingatkan kita pada film “Kuldesak” (Nan T. Achnas, Mira Lesmana, Rizal Mantovani dan Riri Riza 1999) yang menjadi tonggak kebangkitan pekerja film muda melawan campur tangan pemerintah yang terlalu mengatur produksi film nasional saat itu.
Apakah pendekatan gabungan beberapa skenario pendek ini {“Hi5teria”, “Sanubari Jakarta”, dan sebelumnya “Perempuan Punya Cerita” (Fatimah Tobing, Lasja Fauzia, Nia Dinata, Upi, 2007)} bisa membantu lahirnya film-film yang dikerjakan dengan baik dan benar, yang tetap menjunjung tinggi kreativitas ketimbang permintaan pasar?
Catatan:
1. Permintaan pasar tidak hanya karena dibentuk oleh perusahaan ‘konveksi’ film nasional tetapi sebenarnya ‘diprakarsai’ oleh Lembaga Sensor Film dengan berbagai pembatasannya atas karya sesuai UU Perfilman yang sangat tidak mendukung perfilman nasional itu.
2. Film “Sanubari Jakarta” akan segera beredar di jaringan bioskop 21. Layak tonton bagi mereka yang berani menerima kenyataan akan eksistensi kaum gender ketiga dan gay maupun mereka yang tertarik pada trend baru dalam produksi perfilman nasional.